zmedia

Bumi Belajar Kembali

Di sebuah sudut kota Da Nang, dalam ruang kelas yang bersahaja, sekelompok anak-anak kecil duduk bersila. Meja-meja mereka diisi lembar-lembar kertas berwarna dan potongan gambar sampah: kulit pisang, botol plastik, sisa nasi, dan tas belanja kain. Mereka tertawa pelan saat salah satu teman menebak keliru bahwa bungkusan mie instan termasuk "organik". Tak ada lonceng besar yang berdentang. Hanya pelajaran kecil, yang mungkin justru membawa gema paling jauh.

Di sanalah bumi sedang belajar kembali, melalui tangan-tangan mungil yang mulai memilah, melalui pertanyaan lugu tentang ke mana perginya sampah setelah dibuang. Apa yang selama ini kita abaikan, dihidupkan kembali oleh keingintahuan yang belum lelah. Ada harapan yang tenang mengalir dari papan tulis yang memuat kata-kata: “eco-bag,” “daur ulang,” dan “makanan sisa.”

Kita sering mengira perubahan datang dari pidato besar atau kebijakan yang meledak di layar berita. Padahal, bisa jadi ia tumbuh dalam diam. Dalam kertas buram bergambar tiga panah membentuk lingkar: Reduce, Reuse, Recycle.


Satu angka menjadi palu kesadaran: 15 juta ton. Sebanyak itulah sampah yang dihasilkan Vietnam setiap tahun. Tak semuanya tertangani. Tak semuanya bisa menghilang begitu saja. Dan seperti daun-daun kering yang tertumpuk, ia membakar perlahan, membuat kita sesak oleh polusi, kehabisan ruang di bawah tanah untuk menimbunnya.

Namun bagaimana menjelaskan semua itu kepada anak berusia sepuluh tahun?

Ternyata tidak perlu menjelaskannya secara rumit. Cukup dengan permainan sederhana: satu keranjang putih untuk sampah organik, satu keranjang hijau untuk anorganik. Tunjukkan gambar seorang ibu yang mengumpulkan sisa makanan untuk memberi makan babi. Ceritakan tentang tas belanja kain yang bisa menggantikan plastik. Dan yang paling penting, biarkan mereka bertanya. Sebab di balik pertanyaan itu, terselip keberanian untuk membayangkan dunia yang lain.

Penelitian ini, yang dilakukan oleh Thao Phan Hoang dan Takaaki Kato, mungkin tak akan memicu parade atau headline internasional. Tapi ia seperti sumur kecil di tengah kekeringan. Survei sederhana, pendidikan singkat selama 30 menit, dan poster penuh gambar yang ditempel di dinding kelas. Tak ada teknologi canggih. Tidak ada perangkat mahal. Hanya ide bahwa pendidikan lingkungan bisa (dan harus) dimulai dari usia paling muda.

Sebelum pendidikan dilakukan, hanya 29% siswa tahu apa itu eco-bag. Setelah sesi singkat itu, 87% mengaku paham. Sebuah lonjakan, bukan hanya dalam statistik, tapi juga dalam kesadaran.

Yang menarik bukan sekadar hasilnya. Tapi suasana batin yang terpantul: 96% anak-anak itu menyukai pelajaran ini. Dan 85% ingin mengulangnya bersama keluarga. Mungkin itu cara paling jujur untuk menilai pendidikan, apakah ia menyalakan rasa ingin berbagi.

Ada satu fragmen kecil yang terselip di laporan itu: anak-anak di sekolah yang dekat dengan wilayah rural lebih mengenali sistem pengumpulan sisa makanan untuk ternak. Artinya, pengetahuan tak selalu datang dari buku, tapi juga dari dunia sekeliling. Dari suara langkah petani, dari aroma sisa dapur, dari pemandangan pagi saat keranjang makanan dibawa ke kandang babi.

Di situ kita belajar, bahwa pendidikan lingkungan bukanlah soal menjejalkan konsep, tapi membuka mata anak-anak terhadap kehidupan di sekitar mereka.

Saya teringat pada satu kisah di masa kecil: seorang teman yang menyimpan plastik bekas bungkus makanan ringan di dalam tas, hanya untuk membuangnya nanti saat ia menemukan tempat sampah. Saat itu saya mengejeknya sebagai “sok bersih.” Kini saya sadar, ia sedang memulai revolusi yang pelan dan diam.

Mungkin pelajaran terbesar dari penelitian ini adalah bahwa pendidikan bukanlah perkara pengajaran satu arah. Ia adalah ajakan lembut untuk merasakan dunia sebagai bagian dari diri kita. Dan dunia, dalam hal ini, adalah sesuatu yang bisa rusak oleh tangan kita, tapi juga bisa sembuh olehnya.

Pada akhirnya, ada paradoks yang indah: bahwa dunia yang besar bisa diperbaiki dari ruang kelas yang kecil. Bahwa masa depan tidak tergantung pada konferensi internasional, melainkan pada cara seorang anak memutuskan untuk membawa tas kain ke pasar. Bahwa bumi bisa pulih, jika kita kembali belajar tidak dengan tergesa, tapi dengan hati.

Dan barangkali, seperti halnya anak-anak itu, kita semua butuh diingatkan bahwa di balik tiap bungkus makanan yang dibuang, tersembunyi cerita tentang hutan yang ditebang, air yang tercemar, dan udara yang kita hirup bersama. Bahwa membuang sesuatu bukanlah akhir dari segalanya, tapi awal dari tanggung jawab.

Sebab bumi, seperti juga anak-anak itu, selalu ingin tahu: “Apa yang bisa aku lakukan agar hidup tetap lestari?”

Dan mungkin, pertanyaan itu cukup untuk memulai segalanya kembali.


Sumber baca:

Posting Komentar untuk "Bumi Belajar Kembali"