Pada suatu pagi di akhir musim semi, seorang anak kecil berdiri di tepi danau yang perlahan menguap. Ia memungut sehelai daun yang menguning sebelum waktunya, menatapnya seperti sedang membaca masa depan. Di sekelilingnya, nyanyian burung bercampur dengan dengung mesin dari kejauhan. Barangkali itulah potret paling jujur dari dunia yang kita wariskan, sebuah simfoni yang retak.
Ketika dunia berbicara tentang pembangunan berkelanjutan, yang terdengar bukan hanya gema dari ruang konferensi, tapi bisikan halus dari pohon yang meranggas, dari tanah yang haus. Di Rusia, seperti di banyak negeri lainnya, gagasan tentang pendidikan lingkungan menjadi jembatan di antara kenyataan yang tak terhindarkan dan harapan yang tak boleh padam.
Tapi harapan, seperti kita tahu, tak lahir dari statistik atau peraturan pemerintah. Ia tumbuh pelan-pelan dalam ruang kelas, dalam tanya yang dilontarkan dengan polos oleh siswa: “Kenapa langit kita tak lagi biru?” Pertanyaan-pertanyaan semacam itulah yang menjadi dasar dari pendidikan lingkungan, sebuah pendidikan yang tidak sekadar mengisi kepala, tapi juga menumbuhkan nurani.
Ada yang menyebut pendidikan lingkungan di Rusia sedang dalam proses: bertumbuh, bertabrakan dengan prioritas ekonomi, digerogoti oleh birokrasi, namun tetap menyala. Di situlah daya tariknya. Bahwa di tengah kompleksitas sistem, masih ada ruang bagi anak-anak untuk menanam benih, menyulam rasa ingin tahu, dan menyusun masa depan dengan tangannya sendiri.
Seperti dalam dongeng Rusia lama tentang Baba Yaga, yang tinggal di rumah bertungkai ayam, pendidikan lingkungan pun berjalan di tanah yang tak stabil, antara norma sosial dan tekanan industri, antara idealisme kurikulum dan realitas lapangan. Tapi bukankah justru dalam kegoyahan itu kita belajar menemukan keseimbangan?
Laporan tersebut berbicara tentang continuity, interactivity, dan integration, kata-kata teknis yang dalam dunia nyata mungkin berarti seorang guru yang mengajak muridnya keluar kelas untuk menyentuh lumut, bukan hanya membaca tentang fotosintesis. Pendidikan yang hidup bukan yang dibacakan dari silabus, tapi yang ditanam di taman sekolah, dipelajari dari suara burung, dan dicatat dalam diam saat menyaksikan salju pertama jatuh di atas tanah tandus.
Ada kekuatan dalam pendekatan multilevel yang mereka usulkan: dari taman kanak-kanak hingga universitas, dari interaksi langsung dengan alam hingga refleksi filosofis tentang tempat manusia di semesta. Namun pendidikan lingkungan tak hanya soal isi, tapi cara. Ia menuntut emosi, imajinasi, dan terutama kesediaan untuk meragukan cara hidup kita sendiri.
Satu bagian dari artikel menyebut konsep “co-evolution”, gagasan bahwa manusia dan alam bukan dua entitas terpisah, tapi penari dalam tarian yang sama. Ketika kita merusak hutan, kita bukan menghancurkan sesuatu di luar diri kita, tapi merobek bagian dari tubuh sendiri. Dan di sinilah pendidikan itu penting, sebagai cara untuk melihat bukan hanya apa yang terjadi, tapi siapa kita dalam kejadian itu.
Saya membayangkan seorang guru tua di Tomsk yang mengajarkan anak-anak tentang perubahan iklim, bukan dengan grafik, tapi dengan cerita tentang es yang dulu menutupi sungai setiap musim dingin, dan kini tak lagi datang. Cerita-cerita kecil itu, tentang hujan yang tiba terlalu cepat, burung yang tak kembali, sungai yang mengering, mungkin lebih kuat dari pasal-pasal dalam undang-undang.
Pendidikan lingkungan, pada akhirnya, adalah tentang harapan yang radikal: bahwa manusia bisa berubah. Bahwa generasi baru bisa tumbuh tidak dengan semangat eksploitasi, tapi dengan etika empati. Bahwa di balik beton dan baja, masih ada ruang untuk lumut tumbuh. Dan bahwa barangkali, di masa depan, anak-anak tidak hanya akan membaca tentang krisis ekologis sebagai sejarah, tetapi hidup dalam dunia yang telah mereka selamatkan.
Seperti pohon yang menjatuhkan bijinya pada musim gugur, pendidikan lingkungan adalah tindakan percaya bahwa di bawah tanah yang dingin dan keras, kehidupan tetap mungkin. Ia bukan solusi instan, bukan jawaban cepat. Tapi ia adalah satu-satunya jalan yang tersisa, jika kita masih ingin menyebut masa depan sebagai rumah.
Dan di tepi danau itu, anak kecil tadi masih berdiri. Kali ini, ia menanam daun yang jatuh. Tidak karena disuruh, tapi karena ia tahu: hidup harus dimulai kembali dari sesuatu yang sederhana. Dan pendidikan yang sejati selalu dimulai dari kesadaran kecil seperti itu.
Sumber baca:
Posting Komentar untuk "Lumut di Ujung Kapur"