Di sebuah kelas kecil di Trøndelag, seorang guru berdiri di depan papan tulis putih, menatap mata-mata polos yang menantinya memberi tahu “kebenaran”. Ia tidak mengutip buku, tak juga membuka Wikipedia. Ia hanya bertanya, “Siapa yang menulis ini?”
Dan seketika, ruang kelas berubah menjadi panggung filsafat: siapa bicara? Mengapa? Untuk siapa?
Begitulah kisah ini bermula. Bukan dari teori atau kutipan, melainkan dari keraguan yang sunyi—sebuah kebajikan yang kerap kita abaikan. Di tengah laju algoritma yang berisik dan informasi yang datang seperti hujan dari langit yang rusak, para guru di Norwegia belajar kembali cara membaca dunia. Mereka tidak sedang membahas Foucault atau Nietzsche, tetapi mereka sedang menanam benih-benih keraguan itu, dalam kepala anak-anak berusia 10 tahun. Dan itu, mungkin, lebih radikal dari semua seminar filsafat.
Penelitian ini, sebuah mosaik dari survei dan wawancara, menyibak kenyataan sederhana tapi mendalam: guru-guru sekolah dasar di Norwegia, khususnya di jenjang kelas 5–7, sadar akan pentingnya berpikir kritis—dan dari sekian banyak bentuknya, yang paling pertama datang ke benak mereka adalah “kritik sumber”. Suatu istilah yang mungkin terdengar teknokratis, tetapi sesungguhnya adalah cermin dari kerendahan hati intelektual: tidak semua yang tertulis itu benar, tidak semua yang viral itu sahih.
Namun, kesadaran itu tidak selalu menjelma dalam laku. Banyak guru mengizinkan murid mencari informasi dari internet—tetapi hanya sebagian kecil yang membimbing mereka menilai siapa pengarangnya, mengapa ia menulis itu, dan apa maksud tersembunyi di balik kata. Seperti orang tua yang memberi anak kompas di tengah hutan tanpa mengajarkan cara membacanya.
Saya teringat kisah seorang guru dalam wawancara. Ia tengah membahas presentasi seorang murid. Ada satu data yang terasa janggal. Ia tak langsung membantah. Ia berkata, “Bagaimana cara kita memeriksa apakah ini benar?” Sebuah pertanyaan sederhana yang menuntut keheningan, penelusuran, dan dialog. Ia tidak menanam jawaban, ia menanam kebingungan yang sehat.
Dalam kebudayaan yang sering menjadikan “jawaban cepat” sebagai tanda kecerdasan, guru ini—dan banyak lainnya—justru memilih jalan sunyi dari pertanyaan. Mereka mengakui, bahkan pada diri mereka sendiri, bahwa menjadi pendidik bukan berarti menjadi mahatahu, melainkan menjadi mahapeka.
Yang menarik, kritik sumber ternyata bukanlah satu ilmu. Ia adalah banyak bahasa dalam banyak konteks. Dalam pelajaran bahasa Norwegia, ia hadir sebagai upaya membedakan fakta dari opini. Dalam ilmu sosial, ia menjelma sebagai pembacaan terhadap motif politik dan kekuasaan. Dalam ilmu alam, ia hadir lebih samar—menyoal keabsahan data ilmiah atau klaim sains populer yang bias.
Dan ketika mata pelajaran saling bersinggungan dalam proyek lintas disiplin, kritik sumber bersinar paling terang. Saat meneliti koran, iklim, atau sejarah, para murid belajar bahwa kebenaran bukan benda tunggal, melainkan jalinan narasi yang bisa saling bertabrakan.
Namun, di balik itu semua, para guru sendiri pun belum tentu merasa percaya diri. Sebagian merasa kurang mampu menjelaskan kepada kolega bagaimana cara mengajarkan kritik sumber dengan baik. Mereka tahu pentingnya, mereka praktikkan sebaik mungkin, tetapi mereka juga ragu. Dan barangkali justru di situlah pelajaran terpenting tersembunyi: bahwa berpikir kritis bukanlah daftar langkah, melainkan etos batin.
Di tengah percakapan tentang “fake news”, manipulasi media sosial, dan politisasi ilmu pengetahuan, para guru Norwegia tidak merancang kurikulum baru yang mewah. Mereka memilih bertanya: “Mengapa kita percaya ini?” Mereka mengajak murid tidak hanya menyelidiki sumber, tapi juga menyelidiki diri sendiri.
Dan di titik itu, kritik sumber bukan lagi sekadar keterampilan. Ia menjelma menjadi latihan eksistensial. Sebab, seperti kata Rosenqvist dan Ekecrantz, kita adalah sumber pertama yang harus dikritisi.
Saya membayangkan seorang anak pulang dari sekolah, berkata kepada ibunya, “Bu, kenapa kamu percaya berita itu?” Dan sang ibu terdiam. Mungkin marah, mungkin tersenyum. Tapi dunia telah sedikit berubah. Karena seorang guru di kelas telah menanam satu benih: keberanian untuk bertanya sebelum percaya.
Goethe pernah menulis, “Tidak ada hal yang lebih mengerikan daripada kebodohan yang aktif.” Maka, mungkin tak ada hal yang lebih mulia hari ini daripada mengajar anak-anak untuk menjadi pasif sejenak di hadapan informasi—berpikir sebelum bicara, ragu sebelum yakin.
Kritik sumber, pada akhirnya, adalah seni merayakan keraguan. Dan guru—dengan segala keterbatasannya—adalah penyair dari seni itu.
Sumber baca :
Norwegian primary school teachers’ understanding of, and experiences with, source criticism
Posting Komentar untuk "Dalam Hening Kata: Ketika Guru Merenungi Sumber"