zmedia

Menumbuhkan Kemanusiaan di Antara Huruf dan Angka

Di sebuah ruang kelas yang sepi, seorang anak bertanya: "Mengapa manusia saling membenci?" Pertanyaan itu datang bukan dari buku teks matematika atau bacaan fonik, melainkan dari rasa ingin tahu yang tak dibatasi silabus. Sebuah pertanyaan yang hanya bisa dijawab—atau justru dihargai keberadaannya—oleh pelajaran yang tak selalu diajarkan: kemanusiaan.


Di masa yang ditandai oleh layar dan angka, oleh pengukuran dan evaluasi, kita sering lupa bahwa anak-anak tidak hanya membutuhkan keterampilan membaca dan berhitung, tetapi juga ruang untuk bertanya, merasa, dan berimajinasi. Paper ini, dengan penuh ketegasan dan kelembutan, mengingatkan kita bahwa pendidikan bukan sekadar transmisi pengetahuan, melainkan pembentukan manusia. Bahwa di tengah ketidakpastian zaman—pandemi, polarisasi, perubahan iklim, dan isolasi sosial—justru pelajaran yang mengajarkan bagaimana menjadi manusia menjadi semakin mendesak.

Humaniora, dalam tulisan ini, bukanlah sekadar sejarah, geografi, atau pendidikan agama. Ia adalah cara memahami kehidupan. Cara anak-anak membaca dunia, bukan hanya buku. Ia adalah ajakan untuk merayakan keragaman, mengenal nilai, menyusun narasi, dan menumbuhkan empati. Seperti jendela dan cermin: membiarkan anak melihat keluar dan juga melihat ke dalam.


Sistem pendidikan saat ini, terutama dalam konteks Inggris yang jadi latar artikel ini, dipotret sebagai makin sempit dan kaku. Kurikulum yang digerakkan oleh angka dan skor ujian membuat guru lebih banyak “mengajar” daripada mendampingi anak berpikir. Seolah-olah, semakin banyak fakta yang dihafalkan, semakin pintar seorang anak. Padahal, dunia tak hanya menuntut jawaban, tapi juga kemampuan untuk bertanya.

Humaniora, tulis artikel ini, justru menawarkan pendekatan yang “tidak pasti”. Bukan karena ia lemah, tapi karena ia memberi ruang: ruang untuk ragu, untuk berdiskusi, untuk memahami bahwa tidak semua pertanyaan memiliki jawaban mutlak. Di sinilah anak-anak belajar berpikir kritis, bukan hanya mengingat. Mereka belajar bahwa keberagaman bukan masalah, tapi kekayaan. Bahwa sejarah bukan soal tanggal, tapi tentang mengapa manusia memilih seperti yang mereka pilih.


Pendidikan, seperti yang diimpikan dalam tulisan ini, adalah ruang terbuka. Tempat anak-anak berjalan dengan kaki mereka sendiri, menyentuh daun, mendengar cerita, dan bertanya: siapa aku, siapa kamu, siapa kita. Di sinilah pentingnya guru sebagai penenun makna. Ia bukan hanya penyampai informasi, tapi penuntun pencarian. Guru yang mau diam untuk mendengar, bukan hanya berbicara. Guru yang membiarkan anak membangun pemahaman, bukan hanya meniru jawaban.


Paper ini menggugah kita untuk mengubah titik tolak pendidikan: dari “apa yang harus diajarkan?” menjadi “siapa yang ingin kita bentuk?” Bahwa kurikulum seharusnya bukan daftar isi buku teks, tetapi lanskap yang mengizinkan anak menanam benih-benih harapan, pengetahuan, dan kasih sayang.


Dalam dunia yang makin kompleks, pendidikan humaniora bukan pelengkap. Ia adalah fondasi. Ia membangun anak-anak yang mampu merangkul ketidakpastian, bersuara di tengah hiruk-pikuk informasi, dan memilih kebaikan di antara banyak kemungkinan. Ini bukan sekadar pembelaan terhadap pelajaran yang kerap dikesampingkan. Ini adalah seruan moral: bahwa sekolah harus kembali menjadi rumah bagi pertumbuhan jiwa, bukan hanya tempat produksi nilai ujian.

Ketika seorang anak belajar memahami kesedihan tokoh dalam puisi, atau mempertanyakan keadilan dalam sejarah, atau berdialog tentang keyakinan orang lain, ia sedang belajar menjadi manusia yang utuh. Ia sedang menenun masa depan di mana empati bukan kelemahan, tapi kekuatan.


Mungkin, kita perlu lebih banyak mendengarkan pertanyaan anak-anak, dan lebih jarang buru-buru menjawab. Sebab di balik setiap tanya, tersimpan kemungkinan baru untuk mencipta dunia yang lebih adil, lebih bijak, lebih manusiawi. Dan untuk itu, humaniora bukan pilihan, melainkan kebutuhan.

Karena pada akhirnya, seperti kata Bruner, pendidikan bukan tentang apa yang diajarkan, tapi tentang apa yang dialami. Dan pengalaman paling penting yang bisa diberikan sekolah adalah pengalaman menjadi manusia.


Sumber baca :

Why the humanities are an essential element of the curriculum for young children especially in uncertain times

Posting Komentar untuk "Menumbuhkan Kemanusiaan di Antara Huruf dan Angka"