Di sebuah ruang kelas di timur London, seorang guru bernama Helen menyusun lembar-lembar tugas muridnya. Ia menandai, membubuhi catatan, dan menyelipkan satu gumaman lirih, "Ia menulis seperti menari..." Tapi Helen tahu, catatannya itu tak cukup. Bukan karena kurang tajam, tapi karena ia tak memakai kata-kata resmi: evidencing, standardisation, validation. Di dunia Helen, pujian harus tunduk pada format.
Saya teringat pada satu kutipan Milan Kundera: “Beban terberat adalah juga citra dari kehidupan yang paling dalam.” Dalam dunia pendidikan Inggris, khususnya dalam praktik moderasi penilaian tulisan di sekolah dasar, tampaknya beban itu punya bentuknya sendiri: dokumen. Tiga dokumen—TAM, KS2 ARA, dan TA Guidance—bukan sekadar panduan administratif. Mereka adalah mantra-mantra teknokratik yang menyihir bahasa menjadi sistem audit. Bukan ruang dialog.
Tulisan ini adalah undangan untuk merenung. Bukan untuk mencaci kebijakan, tapi untuk menggali absurditas yang tumbuh dari niat baik yang terlalu percaya pada angka.
Moderasi, dalam idealismenya, adalah tempat di mana guru menjadi komunitas penafsir. Di mana tulisan siswa bukan sekadar produk, tapi jejak jejak pemikiran yang dibaca dengan empati. Di Norwegia, misalnya, moderasi dilihat sebagai ruang pertumbuhan profesional. Di Queensland, ia menjadi forum diskusi sejawat. Tapi di Inggris, ia lebih sering menjadi ritual pengukuhan otoritas—tempat di mana pengajar harus membuktikan bahwa mereka telah cukup terstandarisasi untuk dipercaya.
Fairclough menyebutnya sebagai “regimes of truth”. Di balik dokumen-dokumen kebijakan, tersembunyi struktur kuasa yang membungkam interpretasi personal. Guru menjadi ekor dari mesin verifikasi. Frasa seperti “must ensure”, “approval to moderate”, dan “expected standard” tidak sekadar instruksi; mereka adalah palu kebijakan yang memahat ulang identitas profesional.
Jika seorang guru menilai tulisan anak sebagai “menyentuh”, itu bukan data. Jika ia berkata bahwa sebuah narasi punya “suara”, itu terlalu subjektif. Yang sah adalah: apakah anak itu menggunakan subordinasi? apakah ia menyusun paragraf dengan struktur tematik yang sesuai? Di titik ini, puisi dikalahkan oleh prosedur.
Saya membayangkan Helen kembali ke rumah. Ia duduk dengan secangkir teh, membuka ulang esai-esai kecil yang ditulis muridnya. Di salah satunya, seorang anak menulis tentang kehilangan kucing kesayangannya. Kata-katanya ringkih, tak terstruktur, tapi terasa jujur. Helen tahu, ini tulisan yang penting. Tapi ia juga tahu: tulisan itu belum memenuhi expected standard.
Mungkin di situlah tragedi kecil pendidikan kita terletak—saat guru tahu sesuatu yang tak bisa mereka tulis di formulir. Bahwa penilaian bukan hanya tentang presisi, tapi pengakuan. Bahwa tulisan bukan sekadar keterampilan, melainkan keberanian menyuarakan isi hati.
Clarkson dan Connolly, dalam studi mereka, menyibak lapisan-lapisan kebijakan itu bukan sebagai teknisi, tapi sebagai pembaca tanda. Mereka melihat moderasi bukan sekadar prosedur, tapi gejala. Moderasi telah dibingkai ulang: dari sarana pertukaran makna, menjadi sistem validasi administratif. Dan seperti semua sistem administratif, yang terancam bukan hanya fleksibilitas pedagogis, tapi kepercayaan itu sendiri.
Kata-kata seperti robust, validation, dan standardisation berulang seperti mantra. Tapi setiap kali diucapkan, yang hilang adalah kemungkinan lain: kebebasan, dialog, ketidakterdugaan.
Di sebuah sekolah, mungkin di Leeds atau Manchester, seorang guru sedang berdiskusi dengan rekannya tentang tulisan murid mereka. Mereka berselisih: apakah narasi itu cukup “dalam”? Apakah struktur kalimatnya sudah “layak”? Tapi di tengah perdebatan itu, mereka tersenyum—karena dari perdebatan itulah mereka belajar. Mereka menjadi komunitas makna, bukan agen moderasi.
Namun percakapan itu tak masuk laporan.
Goethe pernah berkata, “Kita belajar untuk menilai dengan lebih baik bukan dari presisi, tetapi dari perasaan.” Jika kita percaya pada guru sebagai manusia pembaca dunia, maka kita harus menciptakan sistem yang mempercayai keraguan mereka. Moderasi seharusnya menjadi jembatan, bukan gerbang. Ia mestinya menampung diskusi, bukan membatasi jawaban.
Dalam reruntuhan kata yang diatur, barangkali masih ada celah. Sebuah ruang kecil di mana guru bisa menulis kembali makna dari “menilai”—bukan sebagai proses pengukuran, tapi sebagai tindakan mencintai. Mencintai tulisan anak-anak yang masih belajar menulis tentang dunia. Dan mencintai profesinya sendiri, meski dalam diam.
Post a Comment for "Dalam Reruntuhan Kata yang Diatur"