zmedia

Di Pusaran Tanya

Bayangkan, sebuah pagi di Athena yang dilumuri sinar mentari keemasan. Di sudut Agora, seorang lelaki tua berdiri, tidak mencolok, namun kata-katanya mengalir seperti sungai yang tak kenal henti. Ia tidak membawa kitab, tidak mengajar seperti guru biasa, namun dalam setiap tanya yang dilemparkan, ia membuka pintu ke ruang kontemplasi yang dalam. Dialah Socrates, yang berkata, "Hidup yang tidak diperiksa tidak layak untuk dijalani."

Kalimat itu, sederhana namun mengguncang, adalah inti dari keberanian intelektual yang jarang ditemui. Socrates mengajarkan bahwa hidup bukan sekadar soal keberlangsungan, tetapi soal pemahaman. Seperti seorang pemahat, ia mengikis segala kepalsuan, meninggalkan kejujuran yang keras namun indah. Bagi Socrates, tidak ada kebijaksanaan tanpa pengakuan atas ketidaktahuan. Dan di sana, di pusaran ketidaktahuan itu, ia menyalakan api pencarian.


Socrates tidak pernah mengklaim diri tahu segalanya. Sebaliknya, ia berdiri sebagai pelajar abadi. Pertanyaan-pertanyaannya menjadi cermin, bukan hanya bagi yang ditanyai, tetapi juga bagi dirinya sendiri. "Apakah keadilan?" "Apa itu kebaikan?" Tanya-tanya ini menggali lebih dalam dari definisi kamus; ia mencari inti.

Bayangkan seorang anak kecil bertanya, "Kenapa langit biru?" Jawaban sederhana mungkin memuaskannya, tetapi Socrates akan membawa pertanyaan itu lebih jauh: "Apa itu biru? Apa itu langit? Apa itu tahu?" Sebuah pertanyaan kecil berkembang menjadi jalinan pemikiran yang rumit, mengundang kita untuk memikirkan ulang apa yang dianggap pasti.

Dalam dunia yang dibanjiri informasi, kita sering lupa bertanya. Socrates mengingatkan bahwa setiap kepastian adalah awal dari kemalasan intelektual. Hidup yang diperiksa adalah hidup yang dipenuhi tanda tanya, bukan tanda seru.


Athena, kota yang penuh dengan filsuf, pedagang, dan politisi, menjadi panggung bagi drama kehidupan Socrates. Ia berjalan di pasar, berdiskusi dengan siapa saja, dari budak hingga bangsawan. Di sana, ia menggambarkan kehidupan sebagai "jiwa yang terus-menerus dicintai dan diperbaiki." Namun, cinta ini bukan tanpa risiko.

Ketika penguasa merasa terganggu oleh pertanyaan-pertanyaannya yang menantang, ia dituduh "merusak pemuda" dan "tidak mempercayai dewa-dewa kota." Tuduhan ini adalah ironi; seseorang yang mengabdikan hidupnya untuk mencari kebenaran justru dianggap ancaman. Hukuman mati menantinya, namun ia tidak gentar. Baginya, lebih baik mati dengan integritas daripada hidup dalam kepalsuan.

Di sini, Socrates mengajarkan bahwa kebebasan sejati adalah kebebasan untuk berpikir, bahkan jika itu berarti melawan arus. Hidup yang diperiksa adalah hidup yang berani, penuh dengan risiko, namun bermakna.


"Tidak ada yang berbuat salah dengan sengaja," kata Socrates. Ia percaya bahwa semua orang mengejar kebahagiaan, namun banyak yang tersesat karena tidak tahu apa itu kebahagiaan sejati. Pengetahuan, bagi Socrates, adalah kebajikan tertinggi, karena hanya melalui pengetahuan kita bisa memahami apa yang benar-benar baik.


Namun, pengetahuan ini bukan tentang fakta atau angka. Ini adalah pemahaman mendalam tentang hidup dan tujuan kita di dalamnya. Pengetahuan ini adalah terang yang membimbing kita melewati kegelapan nafsu dan keserakahan. Seperti pelaut yang mencari bintang utara, kita membutuhkan pengetahuan untuk menavigasi kehidupan.


Socrates tidak meninggalkan tulisan. Semua yang kita tahu tentangnya berasal dari murid-muridnya, terutama Plato. Namun, absennya teks langsung justru memperkuat warisannya. Socrates adalah dialog, bukan monumen. Ia adalah pertanyaan, bukan jawaban.

Hingga hari ini, metode Socratic menjadi dasar pendidikan yang mendorong siswa untuk berpikir kritis. Filosofinya adalah pengingat bahwa dalam dunia yang sering terjebak pada kecepatan dan permukaan, kita harus berani berhenti, bertanya, dan mencari kedalaman.


Apa artinya hidup yang diperiksa di zaman ini? Ketika teknologi memberikan jawaban instan, apakah kita masih memiliki kesabaran untuk bertanya? Di tengah hiruk-pikuk, bisakah kita meluangkan waktu untuk merenung, menggali, dan memahami?

Socrates mengundang kita untuk menjadi pemberani intelektual, menantang status quo, dan menemukan kebenaran kita sendiri. Hidup yang diperiksa bukan hanya hidup yang dipenuhi pemikiran, tetapi hidup yang dipenuhi makna. Jadi, kita harus bertanya, bukan hanya pada dunia, tetapi pada diri kita sendiri: Apa artinya menjadi manusia?

Socrates tidak menawarkan kesimpulan, hanya undangan. Dan itulah warisan terbesarnya: hidup yang terus bertanya.


Referensi: Fifty Major Thinkers on Education

Post a Comment for "Di Pusaran Tanya"