Susan Isaacs, seperti pohon tua yang tumbuh di tepian sebuah taman yang berisik, menawarkan keteduhan bagi mereka yang mau berhenti sejenak, duduk di bawah naungannya, dan merenungkan dunia yang terus bergerak. Karyanya tidak sekadar tentang pendidikan; ia adalah panggilan untuk memahami, mencintai, dan membebaskan manusia sejak usia dini.
Dalam salah satu tulisannya, Isaacs berbicara tentang kebebasan anak untuk bermain, untuk bertanya, untuk keliru, dan untuk belajar. Ada sebuah kisah tentang anak kecil yang mencoba menggabungkan dua potongan kayu menjadi sebuah balok besar. Setiap kali potongan itu runtuh, si anak tidak menangis; dia mencoba lagi, dengan cara berbeda. "Anak itu adalah kita semua," tulis Isaacs, "yang terus mencoba, jatuh, dan bangkit lagi di bawah bimbingan yang tidak menghakimi."
Dalam dunia yang semakin teknokratis, gagasan Isaacs terasa seperti oase. Kita sering kali terjebak dalam pola pikir bahwa pendidikan harus produktif, efisien, dan terukur. Namun, Isaacs mengingatkan kita bahwa pendidikan juga harus membebaskan. Ia harus menjadi ruang di mana anak-anak belajar menemukan suara mereka sendiri, bukan sekadar mengulangi apa yang telah diajarkan.
Bayangkan sebuah kelas yang dipenuhi suara tawa, rasa ingin tahu, dan bahkan sesekali suara tangisan. Dalam kelas itu, guru bukanlah penguasa, melainkan fasilitator. Anak-anak bertanya bukan karena mereka tidak tahu, tetapi karena mereka ingin tahu lebih banyak. Mereka bermain bukan karena malas, tetapi karena bermain adalah cara mereka belajar.
Isaacs juga berbicara tentang pentingnya mengamati anak-anak dengan penuh perhatian. Dia percaya bahwa dalam setiap tindakan kecil mereka—dalam cara mereka menggenggam pensil, membangun menara dari balok kayu, atau bahkan ketika mereka duduk diam memandang jendela—ada cerita yang ingin mereka sampaikan. "Kita harus belajar mendengar apa yang tidak mereka katakan," katanya.
Kebijaksanaan Isaacs mengajak kita untuk kembali ke akar pendidikan. Untuk berhenti sejenak dari hiruk-pikuk tuntutan kurikulum dan target nilai, dan mulai melihat anak-anak sebagai individu. Mereka bukan tabula rasa, bukan wadah kosong yang harus diisi dengan pengetahuan. Mereka adalah pelukis yang sudah membawa warna-warna mereka sendiri, dan tugas kita adalah menyediakan kanvas.
Tapi tentu saja, seperti semua ide besar, gagasan Isaacs tidak bebas dari kritik. Beberapa mungkin mengatakan bahwa pendekatannya terlalu idealis untuk dunia nyata. Bagaimana mungkin kita memberikan kebebasan penuh dalam sistem yang dibatasi oleh waktu, anggaran, dan ekspektasi sosial? Namun, di sinilah letak kejeniusan Isaacs. Dia tidak meminta kita untuk membongkar seluruh sistem, tetapi untuk mulai dari diri kita sendiri. "Perubahan besar selalu dimulai dari langkah kecil," katanya.
Dalam refleksi saya, Isaacs mengingatkan kita bahwa pendidikan adalah tentang hubungan. Hubungan antara guru dan murid, antara murid dan teman-temannya, dan bahkan hubungan antara murid dengan dirinya sendiri. "Kita mendidik bukan hanya untuk membuat mereka menjadi orang pintar," katanya, "tetapi untuk membantu mereka menjadi manusia yang utuh."
Jadi, saat kita melangkah ke depan dalam dunia pendidikan, mungkin kita perlu berhenti sejenak dan bertanya: Apakah kita benar-benar mendidik, atau hanya mengajar? Apakah kita menciptakan ruang bagi anak-anak untuk tumbuh, atau sekadar membentuk mereka sesuai keinginan kita? Di bawah naungan pohon tua bernama Susan Isaacs, kita diundang untuk merenungkan hal-hal ini. Dan mungkin, hanya mungkin, kita menemukan bahwa pendidikan yang sejati bukan tentang mengisi kepala, tetapi tentang membuka hati.
Referensi: Fifty Modern Thinkers on Education: From Piaget to the Present Day
Post a Comment for "Meretas Jalan Kebebasan dalam Pendidikan"