zmedia

Tentang Kecerdasan Emosional di Tepi Pendidikan

Kita tidak mengajarkan anak-anak. Kita hidup bersama mereka, dan dalam pertemuan itu, pendidikan menemukan dirinya.

Begitulah barangkali seorang guru tua di desa Pemba pernah berkata, sambil duduk di bawah pohon flamboyan, ditemani serangga-serangga kecil dan udara yang mengandung doa.

Di Tanzania, di ruang-ruang kelas yang masih beraroma tanah dan papan tulis kapur, para guru pra-sekolah tidak hanya mengajarkan angka dan huruf. Mereka berdiri di simpang jalan antara emosi dan pengetahuan, antara tatapan anak-anak yang belum tahu dunia dan dunia yang belum cukup mengenal mereka. Di sanalah, kecerdasan emosional hadir bukan sebagai teori psikologis dari barat, tapi sebagai napas harian: saat seorang guru menahan amarahnya atas tingkah bocah yang menguji kesabarannya, atau ketika ia tahu cara memeluk tanpa tangan—cukup dengan mata yang mengerti.


Kecerdasan emosional, dalam makna yang paling sunyi, adalah kemampuan mendengar dunia yang tak terucap. Dalam riset yang dilakukan oleh Abla Shaffy dan Laurent Gabriel Ndijuye, kita membaca kenyataan bahwa para guru di Tanzania seringkali hidup dalam keterbatasan sumber daya, tetapi menghidupi ruang kelas dengan empati, stabilitas emosi, dan komitmen. Mereka bukan pengkhotbah kurikulum, melainkan penjaga perasaan. Mereka mengelola emosi bukan karena dilatih secara formal, melainkan karena tahu bahwa satu bentakan bisa menggagalkan hari bagi seorang anak yang pulang ke rumah tanpa pelukan.

Namun, riset itu juga membawa keheningan yang menggugah: sebagian besar guru pra-sekolah hanya memiliki tingkat kecerdasan emosional yang sedang. Artinya, masih banyak ruang kosong yang perlu diisi—bukan hanya dengan pelatihan teknis, tapi dengan ruang untuk menjadi manusia.

Saya teringat seorang guru perempuan yang ditemui dalam studi itu. Ia berkata, “Mengajar anak-anak adalah tentang menjadi orang yang mereka percaya meski tak diminta.” Kepercayaan itu tumbuh dari hal-hal kecil: dari senyum yang tidak dibuat-buat, dari kesabaran ketika anak-anak lambat memahami bentuk huruf, dari keteguhan untuk hadir meski gaji sering terlambat.

Di tengah dunia yang begitu mencintai efisiensi dan nilai ujian, guru-guru ini membawa sesuatu yang semakin langka: kehadiran. Mereka hadir utuh, tidak hanya sebagai pengajar tetapi sebagai manusia yang hidup. Mereka mengajari kita bahwa pendidikan bukan hanya soal metode, tapi soal bagaimana seseorang menghadirkan diri dalam ruang yang penuh kemungkinan.


Namun, apakah negara mendengar bisikan halus ini?

Kita tahu bahwa dalam banyak kebijakan pendidikan, yang diukur adalah angka, bukan nuansa. Pemerintah Tanzania telah menulis dalam kebijakannya bahwa guru harus memiliki “kesabaran, empati, kepekaan sosial.” Tetapi seperti halnya hujan yang tertulis di kalender, ia tak selalu turun di ladang yang memerlukannya. Banyak guru tidak pernah mendapat pelatihan emosional secara sistematis. Mereka belajar dari benturan hidup. Mereka belajar dari kekurangan.

Shaffy dan Ndijuye menunjukkan bahwa kecerdasan emosional menyumbang hampir 50 persen terhadap kompetensi pedagogik. Artinya, seorang guru yang mampu memahami dirinya dan orang lain akan lebih mampu membimbing, mengatur kelas, menyusun kurikulum, dan—yang lebih penting—menumbuhkan anak. Tetapi fakta bahwa mayoritas guru hanya berada pada tingkat EI sedang harus membuat kita berhenti sejenak dan bertanya: Apakah kita telah menciptakan sistem pendidikan yang memperbolehkan guru menjadi manusia?


Saya membayangkan sebuah masa depan, ketika pelatihan guru tidak hanya mengajarkan bagaimana mengelola kelas, tetapi bagaimana mengelola luka. Ketika silabus pendidikan guru menyisakan ruang untuk menangis bersama, untuk merenung, untuk belajar mendengar anak yang belum bisa berkata-kata. Karena sejatinya, mengajar adalah seni kesenyapan. Dan hanya mereka yang memiliki empati yang tahu kapan harus diam dan kapan harus bicara.

Di akhir esai ini, mari kita ingat sebuah kalimat sederhana, “Kita terlalu tergesa ingin mengajar, padahal seringkali lupa bagaimana mendengarkan.” Barangkali itu pula yang menjadi inti dari kecerdasan emosional. Bukan sekadar kompetensi, tetapi kapasitas untuk merasakan, menunda reaksi, memberi ruang bagi yang lain untuk tumbuh.

Begitu juga para guru di taman-taman kecil Tanzania itu. Mereka tidak sempurna, tetapi mereka hadir. Dan dalam dunia pendidikan, kehadiran seperti itu kadang jauh lebih berarti daripada ribuan jam pelatihan yang tak pernah menyentuh hati.


Sumber baca:

Observations of socio-emotional intelligence in pedagogical competence of pre-primary teachers in Tanzania

Post a Comment for "Tentang Kecerdasan Emosional di Tepi Pendidikan"