Kadang, perubahan datang tidak seperti badai, tapi seperti gugurnya sehelai daun, tanpa suara, pelan, namun pasti. Dan barangkali, itulah cara kita mulai memahami perubahan iklim: bukan dari angka-angka besar di konferensi dunia, melainkan dari kertas-kertas kecil berbentuk daun, ditempelkan anak-anak pada sebuah pohon buatan di sudut kelas sekolah dasar.
Ada sebuah sekolah di Vanderbijlpark, Afrika Selatan. Di sana, para murid kelas tujuh diminta untuk melakukan satu hal kecil: Do One Thing (DOT), sebuah strategi sederhana, namun menuntut keberanian. Anak-anak itu tidak diajari untuk menyelamatkan dunia dalam satu lompatan besar. Mereka hanya diminta untuk bertanya kepada diri sendiri dan orang terdekat: Apa satu hal yang bisa aku lakukan hari ini untuk memperbaiki bumi?
Maka lahirlah daun-daun itu, kertas yang ditulis dengan niat. “Tidak membuang sampah sembarangan,” tulis seorang ibu. “Gunakan air secukupnya,” kata seorang anak. Kata-kata ini, meski rapuh, membawa bobot yang lebih dari sekadar niat baik. Mereka adalah bentuk perlawanan kecil terhadap pasrah. Bahwa meskipun dunia ini terasa terlalu besar untuk diubah, kita masih bisa menanam satu benih harapan, dalam bentuk tindakan sederhana.
Barangkali, jawabannya ada pada cara anak-anak itu memandang dunia. Mereka belum sepenuhnya kehilangan kepercayaan bahwa satu tindakan bisa memicu perubahan. Mereka belum belajar sikap sinis orang dewasa yang berkata, “Itu tidak akan ada artinya.”
Proyek DOT bukan hanya soal pelajaran iklim, melainkan tentang membangkitkan kembali perasaan bahwa kita bisa, dan boleh, berperan. Para murid itu belajar menjadi citizen scientists, ilmuwan warga. Bukan karena mereka memiliki gelar atau laboratorium, tapi karena mereka punya mata untuk melihat, dan hati untuk peduli. Mereka mengamati lingkungan sekitar, bertanya, mencatat, dan berbagi. Bahkan, mereka berdialog lewat Skype dengan teman-teman sebaya dari belahan dunia lain. Dalam percakapan yang canggung namun hangat, mereka berbagi ketakutan, harapan, dan mimpi. “Aku belajar bahwa kita semua merasakan hal yang sama,” kata salah satu dari mereka.
Bukankah itu awal dari empati ekologis?
Dalam esai ini, saya tidak ingin membahas data atau metodologi. Bukan karena itu tidak penting, tetapi karena perubahan seringkali tidak lahir dari argumen, melainkan dari pengalaman yang menyentuh. Seperti saat seorang anak berkata bahwa ia merasa sedih karena tahu hewan-hewan mati karena ulah manusia. Atau saat ia menulis, dengan ejaan yang belum sempurna, bahwa ia ingin menjaga bumi agar "tidak sakit lagi."
Ada kesadaran baru yang muncul dalam proyek ini: bahwa pendidikan bukan hanya transmisi pengetahuan, tapi juga pengasuhan perasaan. Kita sering lupa bahwa belajar mencintai bumi bukan soal hafalan istilah teknis, tetapi tentang membangun keterikatan emosional. Bahwa kesedihan seorang anak saat melihat sungai tercemar bisa lebih ampuh daripada selembar grafik statistik.
Namun, tentu saja, emosi tanpa daya akan membuat kita lumpuh. Di sinilah DOT menjadi penting. Ia memberi saluran, ruang, dan bentuk. Ia berkata kepada anak-anak: kamu tidak harus menyelesaikan semuanya hari ini. Tapi kamu bisa memulainya. Hari ini. Sekarang.
Ketika daun-daun kertas itu ditempelkan pada pohon buatan, saya membayangkan mereka seperti doa yang dituliskan di kuil-kuil tua. Bukan karena pohon itu sakral, tetapi karena harapan yang melekat padanya. Dan mungkin, di situlah kekuatan sesungguhnya: pada kebersamaan yang sederhana, pada kesadaran bahwa kita tidak sendiri dalam kecemasan ini.
Seorang filsuf pernah berkata, tragedi terbesar bukanlah ketika manusia membuat kesalahan, tetapi ketika manusia berhenti percaya bahwa ia bisa berubah. Proyek DOT, dengan segala kerentanannya, adalah pengingat bahwa transformasi sosial tidak selalu datang dari revolusi besar. Ia bisa datang dari anak usia 13 tahun yang meyakinkan ibunya untuk menutup keran air lebih cepat.
Kita hidup di zaman yang genting. Ketika bumi mulai batuk, kita menoleh. Tapi proyek seperti ini, yang mengajak anak-anak mendengarkan batuk itu lebih awal, adalah benih yang harus terus ditanam. Karena pada akhirnya, perubahan iklim bukan hanya soal suhu bumi, tapi juga suhu harapan dalam hati manusia.
Dan barangkali, perubahan besar memang selalu dimulai dari satu titik kecil. Dari satu daun kertas yang dipasang di pohon. Dari satu anak yang berkata, “Aku akan melakukan satu hal.”
Sumber baca:
Posting Komentar untuk "Daun yang Gugur di Pohon DOT"