Di sebuah sore yang lembap di Ado-Ekiti, seorang dosen muda menatap jendela kelas yang retak. Di luar, langit berwarna abu-abu. Awan menggantung, tapi hujan tak kunjung jatuh. Di dalam kelas, kata-kata tentang perubahan iklim melayang, lemah, seperti doa yang tak tahu kepada siapa harus ditujukan. Ia berbicara tentang daur ulang, tentang panas bumi, tentang laut yang naik pelan-pelan menelan daratan. Tapi yang mendengarkan hanya setengah hati; sebagian mahasiswa memikirkan air bersih yang tak mengalir di rumah, sebagian lagi tentang listrik yang padam saat malam.
Pendidikan lingkungan di Nigeria, seperti awan gelap itu, menjanjikan sesuatu yang vital, tapi sering tertahan oleh angin birokrasi, badai ketidakpedulian, dan tanah kering bernama keterbatasan dana. Dalam negeri yang begitu kaya akan keanekaragaman hayati, paradoksnya adalah betapa miskinnya sistem pendidikannya dalam memelihara kesadaran ekologis.
Padahal, pendidikan lingkungan bukan sekadar daftar istilah: bukan hanya tentang emisi karbon atau konservasi satwa langka. Ia adalah pelajaran tentang rasa terhubung, tentang memahami bahwa apa yang kita buang ke sungai hari ini, adalah air yang tak dapat diminum besok. Ia adalah refleksi, bahwa dalam setiap pohon yang ditebang tanpa bijak, ada masa depan yang ikut tumbang.
Kita perlu mengingat apa yang dikatakan dalam Deklarasi Tbilisi bahwa pendidikan lingkungan harus menumbuhkan kesadaran, pengetahuan, sikap, keterampilan, dan partisipasi. Kelima hal itu, jika hanya tinggal dalam naskah konferensi, akan mati seperti biji yang tak pernah ditanam.
Tapi mari sejenak tinggalkan dokumen dan strategi. Mari bercerita tentang seorang anak perempuan di Kano, yang mengumpulkan kantong plastik dari selokan untuk dijadikan tas tangan. Ia tidak tahu tentang SDGs, tidak tahu bahwa yang ia lakukan termasuk dalam praktik daur ulang. Tapi ia tahu satu hal: bahwa sungai yang mampet membuat malaria datang, dan ibunya jatuh sakit karena itu. Ia belajar dari kehidupan. Tapi bisakah kita memberinya ruang untuk belajar juga dari kampus?
Inilah ironinya: Nigeria telah menandatangani komitmen internasional, memiliki strategi nasional, bahkan memasukkan visi pendidikan dalam berbagai rencana pemulihan ekonomi. Tapi dalam kenyataannya, lebih dari sepuluh juta anak Nigeria tak pernah masuk sekolah. Dan mereka yang berhasil mencapai universitas, sering menemukan ruang kelas tanpa jendela, tanpa komputer, tanpa pengajar yang terlatih dalam ilmu lingkungan.
Kita perlu mengubah ini. Tapi perubahan tidak datang dari dokumen. Ia datang dari keberanian untuk membangun ulang. Dari keberanian untuk menempatkan pendidikan lingkungan bukan di pinggir kurikulum, tapi di jantungnya. Dari keberanian untuk menulis ulang hukum, bukan hanya dengan pena, tapi dengan niat.
Pendidikan lingkungan harus menjadi simpul dari segala hal: dari kebijakan ekonomi, dari arsitektur kota, dari etika politik. Ia harus menjadi seperti akar yang diam, tapi menopang seluruh pohon. Bukan kampanye sesaat. Bukan mata kuliah pilihan. Tapi napas dalam dari sebuah bangsa yang ingin hidup lebih lama, lebih sehat, lebih bijak.
Dan kita tahu, perubahan tidak datang tanpa suara. Maka pendidikan lingkungan harus melatih suara: untuk berbicara, untuk menolak, untuk membayangkan ulang cara hidup. Universitas yang dulunya disebut menara gading harus membuka jendelanya, membiarkan angin dan debu masuk, membiarkan pertanyaan-pertanyaan dari pasar dan sawah ikut membentuk silabus.
Di penghujung hari, pendidikan lingkungan bukan soal alam. Ia soal manusia. Tentang bagaimana kita hidup satu sama lain, dan dengan bumi yang tak punya cadangan. Tentang bagaimana kita ingin dikenang, sebagai generasi yang tahu tapi diam, atau sebagai generasi yang belajar dan memilih untuk bertindak.
Langit di Ado-Ekiti masih muram. Tapi barangkali, di suatu kelas kecil, seorang pengajar memulai ulang dengan satu kalimat sederhana: “Apa yang kamu rasakan ketika tanah retak karena panas?” Dari situ, pelajaran dimulai. Dari rasa. Dari kisah. Dari kesadaran bahwa setiap hujan yang tak jadi turun adalah pelajaran yang belum tuntas.
Sumber baca:
Posting Komentar untuk "Hujan yang Tak Jadi Turun"