zmedia

Mata Angin dalam Labirin Pembangunan

Di satu sudut ruang kelas, seorang mahasiswa duduk menatap lembar tugasnya, kening berkerut. Ia sedang mempelajari Sustainable Development Goals, tujuh belas tujuan agung yang dijahit dari impian umat manusia: dunia tanpa kemiskinan, udara yang bersih, perdamaian yang adil. Tapi di benaknya, SDG itu seperti kabut di pagi hari: indah, namun samar. Terlalu banyak, terlalu luas, terlalu rumit.

Saya teringat peta tua yang dulu tergantung di dinding rumah nenek. Peta dunia yang pudar warnanya, garis-garis batas negara yang mulai memudar. Tapi di pojoknya, ada satu kompas kecil: mata angin. Simbol yang sederhana, namun membawa arah. Barangkali yang kita butuhkan hari ini bukan peta baru, melainkan kompas. Arah di tengah kabut ambisi global yang kerap kehilangan pijakan.

Inilah yang ditawarkan oleh penelitian yang tenang dan telaten, seperti karya Steven Greenland dan kawan-kawan. Mereka tak hanya memetakan ulang kompleksitas SDG. Mereka menyaringnya, menyusunnya kembali seperti meronce manik-manik dalam benang baru: enam dimensi keberlanjutan yang lahir dari suara mahasiswa, bukan dari menara gading para pakar.


Mereka menyebutnya “model enam dimensi keberlanjutan.” Tapi saya lebih suka membayangkannya sebagai enam mata angin dalam ruang belajar kita. Setiap arah membuka lanskap baru, tapi juga membawa peringatan.

Pertama, arah perlindungan lingkungan. Ini barangkali sudah sering kita dengar, tapi sering juga kita tangguhkan. Ia bicara tentang udara yang bersih, hutan yang tidak ditebangi diam-diam, dan laut yang tak menjadi tong sampah plastik. Ini bukan sekadar wacana hijau. Ini adalah nadi bumi yang mulai megap-megap.

Kedua, sosial harmoni dan kesetaraan. Di sinilah cerita-cerita kecil tentang perempuan yang berani berkata tidak, anak-anak yang akhirnya bisa sekolah, dan orang-orang yang lelah menjadi “minoritas.” Kesetaraan, dalam dimensi ini, bukan kebijakan. Ia adalah denyut empati dalam sistem yang lama tak mendengar.

Ketiga, produksi dan infrastruktur berkelanjutan. Di antara beton dan baja, ada harapan tentang kota yang tidak menindas warganya, tentang industri yang tidak membakar paru-paru bumi demi pertumbuhan. Ada impian tentang pembangunan yang tidak menjadi bencana.

Keempat, perilaku konsumsi dan sosial-ekonomi. Ini tentang kita—ya, kita—yang setiap hari memilih antara membeli atau menunda, antara mendaur ulang atau membuang. Konsumsi bukan sekadar ekonomi. Ia adalah etika, dan mungkin juga cermin.

Kelima, tata kelola dan relasi global. Dimensi ini terasa seperti simpul dari benang-benang yang saling bertaut. Hukum yang adil, pemerintah yang bertanggung jawab, dan kerjasama lintas negara. Bukan sebagai slogan diplomatik, tapi sebagai kewajiban moral. Di sinilah politik bertemu nurani.

Dan keenam, pengurangan kemiskinan akut. Dimensi ini terasa paling sunyi, mungkin karena terlalu sering diabaikan. Padahal, siapa yang bisa bicara tentang perubahan iklim jika tak punya cukup makanan hari ini? Siapa yang bisa merenungi keadilan jika hidupnya sekadar bertahan?

Keenam mata angin ini bukanlah jawaban. Ia lebih seperti pertanyaan yang terus berulang: ke mana arah kita sesungguhnya?

Di dunia yang semakin riuh dengan data, indeks, dan agenda global, mungkin kita lupa bahwa keberlanjutan bukan proyek, melainkan laku hidup. Bukan sekadar kurikulum, tetapi cermin dari cara kita mengajar dan belajar. Di sinilah peran pendidikan menjadi lebih dari sekadar penyampai informasi. Ia menjadi ruang refleksi, bahkan mungkin ruang pertobatan.

Dan seperti mahasiswa yang bingung tadi, kita semua pada akhirnya adalah murid dari zaman kita sendiri. Kita hidup dalam masa yang menuntut kita untuk berpikir lintas batas, tapi juga untuk mendengarkan suara akar rumput. Zaman yang tak hanya meminta kita menjadi cerdas, tapi juga bijak. Dan barangkali, untuk bijak, kita perlu sesekali berhenti, menatap peta hidup kita, dan bertanya: adakah kompas yang masih kita percaya?

Pendidikan keberlanjutan, dalam versi terbaiknya, tidak menjejalkan definisi SDG ke kepala anak muda. Ia mengundang mereka berdialog dengan dunia, dengan hati sendiri. Ia mengajarkan bahwa memahami bumi tidak cukup dengan membaca jurnal ilmiah, tapi juga dengan mendengarkan bisik angin, arus sungai, dan diam dari mereka yang terpinggirkan.

Mungkin, pada akhirnya, yang kita butuhkan bukan lebih banyak tujuan, tetapi arah yang lebih jernih. Bukan lebih banyak indikator, tetapi keberanian untuk memilih dan bertindak. Karena dalam dunia yang kian kehilangan orientasi, enam dimensi itu bukan hanya model. Ia adalah mata angin. Ia adalah cara baru membaca langit.


Sumber baca:

Posting Komentar untuk "Mata Angin dalam Labirin Pembangunan"