zmedia

Sebuah Bentuk dalam Kabut

Pada suatu pagi yang dingin di Königsberg, jalan-jalan masih basah oleh embun, dan dunia terasa sepi seperti ruang kelas tanpa murid. Di sanalah Kant berjalan, seperti biasa, dengan ritme yang bisa membelah waktu. Ia tak pernah beranjak jauh dari kotanya, tetapi pikirannya menjelajah lebih jauh dari siapa pun yang pernah menginjakkan kaki di kapal penjelajah samudra.

Apa yang membuat manusia menjadi manusia? Itu pertanyaan tua, tapi Kant tak menjawabnya dengan metafisika yang melayang di awan. Ia menanamkan akarnya dalam pendidikan. “Manusia,” katanya, “adalah satu-satunya makhluk yang harus dididik.” Tidak sekadar diajarkan, tidak sekadar dibentuk. Dididik, sebagai proses menjadi.

Ada sesuatu yang menyentuh dan sunyi dalam pernyataan itu. Kita tidak lahir sebagai manusia yang utuh. Kita hanya potensi. Sebentuk tanah liat di tangan waktu dan pembimbing yang bijak. Pendidikan, bagi Kant, bukanlah alat untuk menanamkan doktrin, bukan pula sekadar jalan menuju pekerjaan. Ia adalah jembatan antara ketidaktahuan dan kebebasan. Sebuah upaya membebaskan, bukan membelenggu.


Suatu sore saya menyaksikan anak kecil belajar berjalan. Ia terjatuh, bangkit lagi, terjatuh lagi. Ibunya tak mengangkatnya, hanya menatapnya dengan senyum yang menahan diri. Kant mungkin akan menyebut momen ini sebagai latihan otonomi. Karena, sebagaimana ia yakini, pendidikan bukan untuk menjadikan anak sebagai replika orang tua, tetapi membimbing mereka agar mampu berdiri sendiri, menjadi pribadi yang merdeka secara moral.

Pendidikan, tulis Kant dalam Lectures on Pedagogy, terdiri dari tiga tahap: disiplin, pembinaan, dan pengajaran. Disiplin mengekang kebinatangan dalam diri anak; pembinaan menumbuhkan moral; dan pengajaran memperluas wawasan. Tetapi ketiganya hanyalah jalan, bukan tujuan. Tujuannya adalah pembentukan karakter, karakter yang bertindak bukan karena takut pada hukuman, atau mengincar hadiah, melainkan karena sadar akan keharusan moral.

Kita hidup dalam zaman yang memuja efisiensi. Sekolah jadi pabrik, murid jadi produk. Kita mengukur keberhasilan dengan angka, bukan dengan kematangan. Tapi Kant tak peduli pada kemegahan statistik. Ia bicara tentang duty, tentang keharusan. Tentang kemampuan berpikir bukan “apa yang ingin saya lakukan?”, melainkan “apa yang seharusnya saya lakukan?”

Dan itu hanya mungkin jika pendidikan memberi ruang pada kebebasan. Paradoksnya jelas: pendidikan harus memaksa agar anak kelak bebas. Memaksa, bukan dalam arti menindas, tetapi membimbing dengan tangan sabar dan rasional. Seperti seorang guru yang tahu kapan harus berbicara, dan kapan diam membiarkan murid menemukan jawabannya sendiri.

Kebebasan tidak lahir dari kehendak yang liar, melainkan dari kehendak yang tercerahkan. Inilah sebabnya Kant menaruh harapan besar pada pendidikan sebagai fondasi peradaban. Ia percaya bahwa hanya dengan mendidik manusia dengan benar, umat manusia bisa menjadi lebih baik, bukan hanya lebih pintar.

Suatu kali, di sebuah desa kecil, saya bertemu seorang lelaki tua. Ia buta huruf. Tapi cara ia memperlakukan cucunya membuat saya teringat pada etika Kant. Ia tak pernah memarahi, hanya mengajak berbicara. Ia berkata, “Kita harus tahu kenapa sesuatu itu salah, bukan hanya tahu bahwa itu dilarang.” Barangkali ia tak pernah membaca Critique of Pure Reason, tapi ia hidup dalam semangatnya.

Di sinilah kita memahami mengapa Kant begitu menekankan pendidikan moral. Tanpa moralitas, pengetahuan hanya jadi senjata. Tanpa pendidikan karakter, kecerdasan jadi licik. Kant bahkan berkata bahwa pendidikan yang baik tidak hanya melatih kecerdasan, tapi juga membentuk kemauan agar tunduk pada hukum moral, yang bukan datang dari luar, melainkan dari dalam diri.

Dan karena itu, pendidikan tak bisa dipisahkan dari harapan. Harapan bahwa manusia bisa berubah. Bahwa sejarah bisa ditulis ulang oleh generasi yang lebih bijaksana. Kant menyebut ini sebagai “proyek umat manusia,” sebuah proyek jangka panjang di mana setiap guru, setiap orang tua, setiap anak, adalah bagian dari mata rantai.

Bayangkan dunia tanpa pendidikan. Maka dunia hanyalah kebun binatang yang ditata apik. Tapi dengan pendidikan, dan pendidikan yang benar, manusia bukan hanya hidup, ia berkembang. Ia menjadi makhluk yang tak hanya tahu, tetapi mengerti. Tak hanya bisa, tetapi juga bijak.

Dalam kabut Eropa abad ke-18, Kant menyalakan lentera kecil bernama rasio. Bukan untuk menerangi dunia seketika, tapi cukup untuk membimbing satu langkah ke depan. Satu demi satu. Itulah mungkin inti pendidikan: bukan menjanjikan pencerahan total, melainkan memastikan bahwa kita tidak berjalan dalam kegelapan total.

Dan karena itulah, mungkin, ia berjalan setiap hari di jalan yang sama, dengan jam yang nyaris sempurna. Sebuah metafora tentang pendidikan itu sendiri: konsisten, tak terburu-buru, dan selalu bergerak menuju terang.


Referensi: Fifty Major Thinkers on Education

Posting Komentar untuk "Sebuah Bentuk dalam Kabut"