zmedia

Renungan tentang Pendidikan Lingkungan

Di suatu pagi yang sunyi, aku melihat seorang anak kecil memungut daun-daun gugur di halaman sekolah. Ia memungutnya satu per satu, menyusunnya dalam bentuk lingkaran, lalu menatapnya seolah sedang menunggu sesuatu tumbuh. Aku bertanya, “Untuk apa?” Ia menjawab, “Biar pohon tahu aku sayang.”

Jawaban yang sederhana. Tapi seperti kebanyakan hal yang benar-benar penting, ia menyimpan kedalaman. Dalam dunia yang retak oleh keserakahan dan amnesia ekologis, seorang anak kecil mengajari kita satu hal penting: mencintai bumi dimulai dari rasa sayang yang paling remeh.

Kita hidup di zaman yang disebut-sebut sebagai Anthropocene, masa ketika manusia menjadi kekuatan geologis yang mampu mengubah iklim, merusak tanah, meracuni udara, dan merampas masa depan dari generasi yang belum lahir. Teknologi melesat, kota-kota membubung, tetapi sungai-sungai mengering, tanah menjadi abu, dan langit kehilangan burung-burungnya.


Di tengah kemajuan ini, kita kerap lupa bahwa bumi bukan sekadar latar belakang bagi cerita kita. Ia adalah rumah yang rapuh, sebuah organisme hidup yang menampung napas dan nestapa. Dan rumah itu sedang sakit.

Namun, apakah ilmu pengetahuan cukup menyembuhkannya? Apakah statistik, algoritma, dan perangkat sensor bisa membangkitkan empati? Ataukah kita perlu sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang menyentuh akar kesadaran manusia?

Pendidikan lingkungan, bukan sekadar sebagai mata pelajaran tetapi sebagai laku hidup, barangkali adalah jawabannya. Dalam riset yang dilaporkan oleh Karel Llopiz-Guerra dan rekan-rekannya, kita diajak menengok kembali nilai-nilai yang terlupakan. Mereka menyelidiki pentingnya pendidikan lingkungan dalam menjaga keberlanjutan alam. Bukan dengan ceramah, tapi dengan pengalaman. Bukan dengan hafalan, tapi dengan pemahaman yang bersumber dari rasa ingin tahu dan keterlibatan langsung.

Pendidikan lingkungan, dalam pandangan mereka, adalah jalan menuju kesadaran ekologis. Sebuah jembatan antara pengetahuan dan tindakan, antara logika dan cinta.

Tetapi pertanyaannya tetap sama: bagaimana mendidik manusia agar peduli pada sesuatu yang tak segera terlihat dampaknya?

Mereka menyebutnya Environmental Education for Sustainable Development (EESD), sebuah pendekatan pedagogis yang melibatkan siswa secara aktif dalam mengenali, menganalisis, dan mencari solusi atas masalah lingkungan di sekitarnya. Ini bukan sekadar metode. Ini adalah semacam ritus peralihan dari manusia pasif menjadi warga bumi yang bertanggung jawab.

Dalam esai kehidupan ini, ruang kelas bukan lagi hanya bangku dan papan tulis. Ia menjadi ladang tempat anak-anak menanam benih, hutan tempat mereka mendengar bisikan angin, sungai tempat mereka membaca arus. Mereka tidak hanya belajar tentang lingkungan, mereka menjadi bagian darinya.

Namun, ini semua tidak mungkin tanpa para guru. Mereka bukan lagi sekadar penyampai pengetahuan, tetapi penabur kesadaran. Guru-guru yang terlatih dalam EESD menjadi semacam penjaga api yang menghidupkan semangat anak-anak untuk berpikir kritis, bertindak, dan bermimpi tentang masa depan yang hijau.

Sayangnya, banyak guru belum diberi kesempatan atau pelatihan untuk itu. Di sinilah tantangan kita: membangun sistem pendidikan yang tidak hanya mendorong siswa mengejar nilai, tetapi juga mengasah nilai-nilai. Nilai-nilai seperti hormat terhadap kehidupan, kerendahan hati di hadapan alam, dan tanggung jawab antargenerasi.

Apa yang bisa kita harapkan dari pendidikan lingkungan?

Bukan sekadar murid yang tahu tentang perubahan iklim. Tapi murid yang merasa perubahan itu. Yang menggigil saat tahu hutan ditebang. Yang marah saat sungai dicemari. Yang menangis saat spesies punah. Dan yang, dengan segala kekuatan kecilnya, berbuat sesuatu.

Seperti anak kecil tadi. Yang memungut daun-daun tak berarti di mata kebanyakan orang, dan menyusunnya menjadi sesuatu yang sakral. Ia mungkin tak tahu istilah sustainability. Tapi ia tahu, dalam caranya yang sederhana, bahwa dunia ini layak dicintai.

Akhirnya, barangkali tugas kita bukan menyelamatkan bumi. Tapi menyelamatkan kemampuan kita untuk mencintainya. Sebab dari cinta, lahir kehendak untuk merawat. Dan dari perawatan, lahirlah keberlanjutan.

Pendidikan lingkungan bukan tentang menanam pohon di halaman sekolah semata. Ia adalah tentang menanam rasa tanggung jawab di dalam hati manusia. Agar suatu hari, ketika kita ditanya oleh anak cucu, “Apa yang kalian lakukan ketika bumi mulai rusak?” kita bisa menjawab dengan jujur, “Kami memilih untuk mengajar. Agar mereka yang datang setelah kami tahu bagaimana caranya mencinta.”


Sumber baca:

Posting Komentar untuk "Renungan tentang Pendidikan Lingkungan"