Ada seorang gadis kecil yang duduk di bangku kayu gereja, terlalu kecil untuk menjangkau lutut altar, tetapi cukup besar untuk menampung semesta dalam matanya. Ia tidak berdoa, tidak juga menyanyikan madah. Ia hanya diam, nyaris beku. Tetapi, di balik diamnya, ia sedang memperhatikan.
Simone Weil mungkin bukan gadis kecil itu, tetapi di dalam dirinya tumbuh jenis perhatian yang nyaris suci, perhatian yang bukan sekadar melihat, tetapi mengalami. Seakan-akan dunia hanya akan membuka maknanya ketika kita menggantungkan diri pada keheningan, ketika kita mematikan ego, dan membiarkan kenyataan menyentuh kita lebih dulu.
Dalam esainya tentang pendidikan, Weil tidak mengajarkan metode atau strategi. Ia menyusup ke jantung dari segala pembelajaran: perhatian. Bagi Weil, perhatian bukan alat, tapi tujuan. Kita tidak belajar untuk tahu; kita belajar untuk bisa memperhatikan.
Simone Weil menyebutnya “pengosongan diri.” Di sini, belajar menjadi tindakan spiritual. Kita mengosongkan ego, seperti gelas yang harus kosong dulu agar bisa menerima air, agar dunia bisa menyapa kita tanpa prasangka, tanpa gangguan dari keinginan pribadi.
Saya ingat satu senja di perpustakaan kota, ketika seorang anak muda bertanya kepada pustakawan tua, “Buku apa yang harus saya baca agar bisa pintar cepat?” Sang pustakawan menatapnya sebentar lalu menjawab, “Cobalah untuk membaca tanpa niat menjadi pintar.” Mungkin, itulah momen Weilian dalam kehidupan sehari-hari. Karena bagi Weil, perhatian murni adalah ketika kita hadir penuh tetapi tidak menuntut apa pun dari apa yang kita hadapi.
Simone Weil pernah mengajar anak-anak miskin. Ia tahu bagaimana pendidikan bisa menjadi kekerasan halus: tuntutan hafalan, tekanan ujian, penilaian yang tidak menyisakan ruang untuk gagal. Ia tahu bahwa anak-anak sering kehilangan perhatian justru karena sistem memaksakan perhatian dengan paksa. Tapi perhatian sejati tumbuh bukan dari tekanan, melainkan dari cinta.
Dan cinta, dalam bingkai Weil, bukan romantik atau manis. Ia adalah penderitaan yang tenang. Ia adalah kekuatan untuk tetap duduk, diam, dan menyimak. Ketika anak kecil mencoba memahami puisi Latin yang terlalu sulit baginya, tetapi ia tetap mencoba membaca kalimat itu perlahan dan berulang-ulang, di situlah cinta terjadi. Di situlah perhatian hadir.
Maka belajar, menurut Weil, adalah bentuk doa. Bukan doa yang diucapkan, tetapi doa yang dilakukan. Setiap upaya memperhatikan adalah latihan spiritual, semacam liturgi dalam gerak otak dan jiwa. Di titik itu, subjek yang kita pelajari—matematika, sejarah, sastra—menjadi kurang penting dibanding bagaimana kita hadir menghadapinya.
Kita hidup di dunia yang lapar akan perhatian, tetapi justru memproduksi distraksi. Gawai bersinar lebih terang dari jendela. Algoritma tahu lebih banyak tentang kita daripada kita tahu tentang dunia. Simone Weil mengingatkan bahwa hanya dengan perhatian, kita bisa merawat kemanusiaan.
Ia tidak menulis kurikulum. Ia tidak membangun teori pendidikan. Tetapi dalam refleksi-refleksinya yang lirih, kita disuguhi kemungkinan bahwa pendidikan bisa menjadi bentuk kasih. Bahwa ruang kelas bisa menjadi kapel sunyi tempat jiwa-jiwa kecil belajar mengosongkan diri untuk dunia.
Pernahkah Anda memperhatikan daun yang jatuh? Bukan sekadar melihatnya, tetapi menangguhkan segala pikiran lain dan memperhatikan bagaimana ia lepas dari ranting, melayang dengan pelan, lalu menyentuh tanah seperti seseorang menyentuh altar?
Mungkin itulah latihan Weil: perhatian bukan kemampuan, tetapi disposisi. Bukan keterampilan, melainkan cara hidup. Ia menulis, “Setiap upaya yang tulus, meski gagal, untuk memperhatikan sesuatu yang sulit dan tidak disukai, membentuk bagian dari latihan perhatian.” Tidak ada kegagalan di dalamnya. Bahkan ketika kita tidak memahami sebuah soal matematika, selama kita benar-benar mencoba, jiwa sedang dilatih untuk menyimak. Dan dari situlah tumbuh kapasitas untuk mencintai yang lain.
Weil bahkan melampaui pendidikan. Ia membawa perhatian ke wilayah etika, teologi, bahkan politik. Dalam dunia yang mengabaikan penderitaan orang lain karena terlalu sibuk dengan diri sendiri, perhatian menjadi tindakan revolusioner. Melihat orang miskin sebagai manusia, sungguh melihatnya bukan dengan kasihan, tetapi dengan pengosongan diri, adalah tindakan politis yang radikal.
Di sanalah pendidikan bertemu spiritualitas. Mengajar menjadi ibadah. Belajar menjadi pelayanan. Dan dalam keheningan itu, mungkin dunia diselamatkan.
Suatu hari, mungkin kita akan duduk di bangku tua, di ruangan yang sunyi, dan mengingat kembali seorang guru yang tidak mengajarkan rumus, tetapi mengajarkan cara hadir. Seorang guru yang tidak sekadar mengisi kepala, tetapi mengajarkan cara mengosongkan hati. Mungkin di situ, Simone Weil sedang tersenyum samar dari ujung jendela.
Karena dalam akhir yang paling sunyi, hanya perhatian yang tinggal. Dan di sanalah, manusia menemukan maknanya kembali.
Referensi: Fifty Modern Thinkers on Education: From Piaget to the Present Day
Posting Komentar untuk "Jeda yang Paling Sunyi"