Suatu pagi yang muram, seorang guru tua duduk di serambi rumah, menatap halaman yang basah oleh embun. Di tangannya tergenggam buku tua dengan halaman yang mulai rapuh, sebuah koleksi tentang nilai-nilai, tentang keindahan hidup yang tak diajarkan dengan tabel periodik atau rumus integral. Ia percaya, seperti Harry Broudy percaya, bahwa pendidikan bukanlah hanya transmisi fakta, tetapi lebih dalam: sebuah warisan nilai.
Apa itu nilai? Kita sering menganggapnya sebagai sesuatu yang samar. Ia tak bisa diukur, tak bisa diuji dalam lembar jawaban pilihan ganda, tak pula menghasilkan angka rapor yang mencolok. Namun Broudy menempatkannya sebagai jantung pendidikan. Nilai, baginya, bukan hanya pelengkap, melainkan fondasi.
Broudy bukanlah seorang pemimpi kosong yang mabuk oleh idealisme. Ia seorang filsuf pendidikan yang justru menuntut realisme. Pendidikan, baginya, harus memiliki struktur, harus memiliki kedisiplinan dalam mentransmisikan warisan budaya yang telah teruji oleh waktu. Ia memandang sekolah sebagai benteng terakhir peradaban, tempat di mana generasi muda seharusnya mewarisi bukan hanya keterampilan kerja, tetapi juga kebijaksanaan hidup.
Saya teringat sebuah peristiwa kecil. Seorang anak SD, setelah membaca cerita tentang Mahatma Gandhi, bertanya kepada gurunya, “Bu, kenapa Gandhi tidak membalas kekerasan dengan kekerasan?” Gurunya terdiam sejenak, lalu menjawab dengan lembut, “Karena keberanian sejati tidak selalu bersuara keras. Kadang ia hadir dalam diam.” Dalam percakapan itu, tak ada rumus, tak ada statistik, tetapi di sana nilai ditanamkan.
Broudy menamakan dimensi ini sebagai “disposisi” dan membedakannya dari “kemampuan” dan “pengetahuan”. Disposisi adalah kecenderungan bertindak secara etis, estetis, atau rasional, meski tidak selalu muncul dalam bentuk yang bisa diukur. Ia seperti cahaya redup dalam diri yang menuntun seseorang dalam kesunyian moral.
Kritik Broudy terhadap pendidikan modern sangat halus namun tajam. Ia tidak menolak ilmu pengetahuan atau keterampilan teknis, tetapi ia menolak pemiskinan makna pendidikan. Dalam pandangannya, pendidikan yang baik adalah pendidikan yang berani menyentuh dimensi normatif, yang mengajarkan bukan hanya bagaimana cara berpikir, tetapi mengapa kita berpikir.
Bayangkan seorang insinyur yang sangat terampil membangun jembatan, tetapi tak pernah diajak merenung tentang siapa yang menyeberanginya dan mengapa jembatan itu dibutuhkan. Bayangkan seorang ekonom yang piawai membuat kebijakan, tapi tak pernah bertanya apakah kebijakan itu adil. Di sinilah nilai menjadi penting, sebagai rem, sebagai nurani, sebagai pertimbangan sebelum tindakan.
Broudy menyebutkan bahwa warisan budaya (cultural heritage) harus tetap menjadi pusat dalam kurikulum. Bukan karena nostalgia, tetapi karena hanya dengan mengenal sejarah, seni, sastra, dan filsafat, seseorang bisa memahami dirinya dalam konteks kemanusiaan yang lebih luas. “Cultural literacy,” baginya, bukan barang mewah, tetapi kebutuhan mendasar bagi warga negara yang tercerahkan.
Namun, adakah ruang bagi semua ini dalam pendidikan kita hari ini? Dalam kurikulum yang kian padat, dalam evaluasi yang kian mekanis, di mana nilai bisa bersembunyi?
Broudy menjawab dengan tenang: nilai tidak pernah mati. Ia mungkin dibisukan, tapi tak pernah punah. Ia hidup dalam perjumpaan, dalam cerita, dalam pengalaman. Tugas guru, menurutnya, adalah menjadi penjaga api, menyalakan bara kecil nilai dalam hati anak-anak dengan harapan suatu hari akan menyala terang.
Ia percaya pada pendidikan liberal, bukan dalam arti politis, tetapi dalam arti pembebasan. Pendidikan yang membebaskan manusia dari belenggu ketidaktahuan, dari ketertundukan terhadap mode berpikir utilitarian yang sempit. Pendidikan yang membangun integritas batin, bukan sekadar kompetensi teknis.
Dalam pandangan ini, guru bukan hanya pengajar, tapi juga pendidik. Bukan hanya fasilitator, tetapi juga pembimbing nilai. Ia bukan hanya seseorang yang menguasai konten, tetapi yang mampu menunjukkan arah moral dan makna. Dalam kelasnya, tidak hanya ada materi, tetapi juga makna.
Maka pendidikan, dalam terang Broudy, adalah tindakan humanistik. Sebuah usaha untuk menjadikan manusia utuh, yang berpikir, merasa, dan bertindak dengan kedalaman. Dalam dunia yang makin bising oleh tuntutan efisiensi dan output, suara Broudy mengingatkan kita akan pentingnya kebeningan.
Ia tahu, tentu saja, bahwa ini bukan tugas mudah. Pendidikan nilai adalah pendidikan jangka panjang. Hasilnya tidak bisa dilihat dalam satu semester, mungkin bahkan tidak dalam satu generasi. Tetapi ia percaya, seperti seorang tukang kebun yang menanam pohon meski tahu ia tak akan duduk di bawah naungannya.
Dan mungkin, itulah kebijaksanaan tertinggi: menanam bukan demi panen, tetapi demi warisan.
Referensi: Fifty Modern Thinkers on Education: From Piaget to the Present Day
Posting Komentar untuk "Senandung Nilai di Tengah Riuh Pendidikan"