zmedia

Di Tangan Anak-Anak, Masa Depan Itu Disulam dengan Daun dan Sampah

Di sebuah taman kecil yang dibelah oleh sinar pagi dan desir langkah kaki mungil, seorang anak berjongkok di tanah. Tangannya menggali pelan, mencermati kantung plastik yang setengah membusuk di bawah timbunan daun. Ia tidak melihat “sampah”, melainkan jejak. Jejak manusia yang tertinggal di tubuh bumi. Di matanya, plastik itu bukan sekadar benda mati, tapi kisah tentang tangan yang membuang dan dunia yang menanggung.

Mungkin kita terlalu sering memulai percakapan tentang keberlanjutan dengan angka. Berapa ton sampah kita hasilkan. Berapa hektar hutan lenyap setiap menit. Tapi anak-anak tidak tumbuh dengan statistik. Mereka tumbuh dengan cerita, dari dedaunan yang mereka pungut, dari kumbang yang tersesat di teras, dari cacing yang menjelajah kompos, dan dari orang dewasa yang mengajari mereka untuk peduli dengan cara mencontoh, bukan memerintah.

Di Finlandia, negeri yang dikelilingi hutan dan dihuni oleh orang-orang yang terbiasa berjalan kaki ke danau di musim semi, sebuah kelompok anak usia 4 sampai 6 tahun memulai proyek daur ulang sederhana: The Masters of Trash. Nama yang jenaka, namun menyimpan sesuatu yang lebih serius dari sekadar kardus dan botol plastik.


Anak-anak tidak diberi ceramah panjang tentang perubahan iklim. Sebaliknya, mereka diajak bermain, memisahkan limbah organik dan anorganik seperti menyusun puzzle, mengamati apa yang membusuk dan apa yang membandel di tanah, menyanyikan lagu tentang sampah, dan yang paling penting, menjelajah hutan. Karena hanya lewat kedekatan, empati bisa lahir. Dan dari empati, lahir keinginan untuk menjaga.

Namun yang menarik bukan sekadar apa yang dilakukan di taman kanak-kanak itu. Yang lebih menyentuh adalah bagaimana proyek kecil ini menyentuh rumah-rumah. Orang tua mulai berbincang dengan anak tentang plastik di laut, tentang mengapa kita tidak boleh membeli mainan yang hanya akan dibuang. Bahkan, dalam satu cerita, anak itu menolak kantong buah di toko, berkata, “Nanti masuk ke laut.” Kalimat sederhana itu, dilontarkan bukan oleh aktivis melainkan oleh anak prasekolah, menohok lebih keras dari kampanye iklan yang gemerlap.

Tapi bukankah itu selalu begitu? Kebijaksanaan dalam bentuk paling murni sering datang dari yang belum kita anggap "siap". Anak-anak tak membaca buku teori ekologi, namun mereka tahu bahwa daun yang dirobek tak akan kembali, dan bahwa serangga punya rumah meski kita tak bisa melihatnya.

Para peneliti yang mengamati proyek ini menemukan sesuatu yang menarik. Hubungan keluarga dengan alam adalah benih paling dalam dari perilaku berkelanjutan. Orang tua yang menghabiskan masa kecil mereka di tepi hutan kini membimbing anak-anak mereka untuk menyapa pohon dan memeluk tanah. Mereka tidak "mengajar", tapi berbagi pengalaman seperti memetik blueberry, memberi makan burung, mengubah kaus bekas jadi boneka. Dan dari situ, tumbuh kebiasaan, bukan karena diharuskan, tapi karena dianggap wajar.

Yang lebih mengejutkan, bahkan di masyarakat yang sangat sadar lingkungan seperti Finlandia, tidak semua orang merasa sudah cukup. Dalam wawancara, beberapa orang tua merasa bersalah karena belum maksimal dalam mendaur ulang. Tapi justru dari rasa belum cukup itu tumbuh niat untuk terus belajar bersama anak, bukan untuk anak.

Dalam dunia yang sering kali terburu-buru memperkenalkan anak pada kompetisi dan kalkulasi, pendidikan keberlanjutan menawarkan sesuatu yang lain: pelambatan, perenungan, dan keterlibatan. Ia tidak menyodorkan jawaban, tetapi mengajak bertanya. Mengapa daun gugur? Ke mana perginya plastik? Mengapa lebah itu penting? Dan dari pertanyaan-pertanyaan kecil itu, lahir pengertian yang tidak didikte dari atas, tapi tumbuh dari bawah seperti akar.

Kita sering berpikir bahwa menyelamatkan bumi membutuhkan teknologi canggih dan kebijakan besar. Padahal, mungkin yang kita butuhkan lebih dahulu adalah telinga untuk mendengar kegelisahan anak tentang kura-kura yang tersangkut plastik. Dan tangan untuk memegang tangan kecil mereka saat mereka menunjuk ke arah tumpukan sampah dan bertanya, “Kenapa ada di situ?”

Mungkin masa depan bukanlah proyek raksasa, tapi benih yang disemai perlahan di taman bermain. Di tangan anak-anak yang belajar memilah botol dan mencintai pohon, kita melihat potongan kecil dari dunia yang kita harapkan. Dunia yang tidak hanya dihuni, tapi dihargai. Dunia di mana sampah bukan akhir dari sesuatu, tapi awal dari cerita yang baru, tentang cinta, tentang tanggung jawab, tentang harapan yang bersandar pada lengan yang paling lembut.


Sumber baca:
Promoting Sustainability Together with Parents in Early Childhood Education

Posting Komentar untuk "Di Tangan Anak-Anak, Masa Depan Itu Disulam dengan Daun dan Sampah"