Ada sebuah sekolah yang nyaris seperti dongeng. Letaknya di desa kecil bernama Leiston, di Suffolk, Inggris. Tidak ada bel sekolah. Tidak ada kelas yang wajib. Tidak ada ujian. Dan anak-anak? Mereka bisa memilih untuk tidak belajar sama sekali. Namanya: Summerhill.
Bagi dunia yang dibentuk oleh disiplin dan paksaan, sekolah seperti ini terdengar seperti kelakar. Tapi bagi Alexander Sutherland Neill, pendirinya, justru di sinilah kebebasan itu disemai. Ia percaya bahwa pendidikan sejati bukanlah soal mengisi otak anak dengan fakta, melainkan membebaskannya dari rasa takut.
Neill bukanlah seorang pemimpi utopis yang bicara dari menara gading. Ia tumbuh di Skotlandia, dari seorang ayah guru yang keras dan puritan. Pendidikan, baginya, awalnya adalah penderitaan yang dibungkus moralitas. Dan dari luka itulah ia menulis visinya: sekolah seharusnya membahagiakan, bukan mencetak anak menjadi mesin.
Ia menolak sistem yang membuat anak menjadi "baik" hanya karena takut. “Kebanyakan dari kita dibentuk oleh rasa takut—takut gagal, takut orang tua, takut hukuman,” tulisnya. Maka, di Summerhill, tidak ada paksaan belajar. Anak-anak belajar hanya ketika mereka siap. Guru tidak memerintah, tapi hadir sebagai teman perjalanan.
Orang bertanya, “Bagaimana bisa anak belajar jika tidak dipaksa?” Tapi Neill membalik tanya itu: “Bagaimana bisa anak belajar bila ia dipaksa?” Bagi Neill, paksaan adalah kekerasan halus yang melumpuhkan rasa ingin tahu. Pendidikan yang lahir dari rasa takut hanya akan melahirkan kepatuhan, bukan pemahaman.
Ia percaya pada "self-regulation", pada kecenderungan alami anak untuk berkembang, bila diberi ruang yang aman dan penuh kasih. Mirip benih yang tumbuh tanpa disiram racun kontrol. Jika tidak dilukai, anak-anak tidak akan tumbuh menjadi penguasa yang menindas, atau pengikut yang pasrah. Mereka akan menjadi manusia utuh.
Tentu, tidak semua orang sepakat. Banyak yang menganggap pandangan Neill sebagai bentuk anarkisme pendidikan. Tapi jika kita jujur, bukankah sebagian besar sekolah konvensional lebih mirip pabrik ketimbang taman? Anak-anak diukur, dibandingkan, dikotakkan. Lalu dibentuk menjadi seragam. Apa yang hilang di proses itu? Diri mereka sendiri.
Neill tidak sedang mengajak kita untuk menutup semua sekolah dan membiarkan anak-anak berkeliaran tanpa arah. Ia hanya ingin mengatakan: lihatlah anak sebagai manusia seutuhnya, bukan proyek. Hargailah suara mereka. Percayalah pada kemampuan mereka untuk memilih. Bukan karena mereka sempurna, tapi karena mereka berhak.
Dalam salah satu catatannya, Neill menulis tentang seorang anak laki-laki yang selama dua tahun tidak mau belajar apa pun. Ia hanya bermain. Orang tua resah. Guru bingung. Tapi Neill menunggu. Tidak ada paksaan. Dan suatu hari, anak itu datang sendiri ke kelas matematika. Dalam enam bulan, ia mengejar ketertinggalan dua tahun. Ia belajar karena ia mau.
Kita tidak sedang bicara soal efisiensi. Tapi tentang martabat. Neill percaya bahwa hanya dari kebebasan, lahir tanggung jawab yang otentik. Hanya dari rasa aman, muncul keberanian untuk berpikir.
Dunia modern mengagungkan pencapaian. Ranking. Skor. Sertifikat. Tapi Neill menunjukkan bahwa pendidikan bisa berjalan di jalan yang sepi, tak ramai sorak. Pendidikan yang tak tampak di grafik, tapi terasa dalam sikap: anak-anak yang percaya pada diri sendiri, yang tidak takut berbeda, yang bisa berkata “tidak” pada ketidakadilan.
Mungkin itu sebabnya, meski sering diserang, Summerhill masih berdiri. Tidak besar. Tidak glamor. Tapi tetap teguh. Sebuah perlawanan kecil terhadap dunia yang terlalu mencintai keteraturan dan melupakan kelembutan.
Di akhir hayatnya, Neill tidak meninggalkan teori pedagogi yang sistematis. Tidak ada model instruksional. Tidak ada rumus kurikulum. Ia hanya meninggalkan sebuah keyakinan sederhana: bahwa anak-anak, jika dicintai, akan menemukan jalan mereka sendiri.
Dan mungkin, dalam dunia yang dipenuhi algoritma dan logika pasar, keyakinan seperti itu terdengar naif. Tapi seperti puisi yang menyelinap di antara laporan-laporan teknokratik, kepercayaan Neill adalah pengingat sunyi: bahwa pendidikan adalah seni mencintai dalam diam.
Bukan tentang hasil ujian. Tapi tentang siapa anak-anak itu kelak—dan siapa mereka hari ini, saat dunia bersedia mendengarkan.
Referensi: Fifty Modern Thinkers on Education: From Piaget to the Present Day
Post a Comment for "Anak-Anak yang Tidak Pernah Pergi Sekolah"