Kita sering lupa bahwa pendidikan pernah lahir dari keheningan dan keteladanan, bukan dari angka-angka atau kurikulum yang tebal. Seorang tua berkain panjang berjalan di antara anak-anak muda, bertanya, mendengar, lalu bertanya lagi. Namanya Confucius, atau dalam bahasa leluhur: Kong Fuzi—Sang Guru Kong.
Ia tidak menulis buku, tidak mendirikan universitas, apalagi mematenkan teori. Tetapi namanya menetap dalam ingatan sejarah. Barangkali karena ia tidak mengajari rumus, melainkan mengajarkan bagaimana manusia bisa menjadi manusia.
"Secara kodrat, manusia saling berdekatan; namun karena kebiasaan, mereka bisa menjauh," begitu katanya. Di sana, pendidikan bukan alat naik pangkat atau sarana menyetir pasar kerja. Pendidikan adalah jembatan agar manusia tidak terasing dari kemanusiaannya sendiri. Ia mengajari bukan untuk menghasilkan “pekerja,” melainkan “manusia yang utuh”.
Dalam dunia yang sering kali memisahkan antara pengetahuan dan kebijaksanaan, Confucius percaya: belajar tidak hanya soal mengetahui, tapi soal menjadi. "Tanpa belajar, keberanian menjadi pembangkangan, kejujuran menjadi kekasaran." Belajar bukan tentang akumulasi, tapi pembentukan karakter. Ia adalah jalan pulang menuju diri.
Sekolah Confucius bukan bangunan megah dengan jam dinding dan bel istirahat. Ia membuka pintu bagi siapa pun yang membawa seikat daging babi kering. Simbol yang sederhana, tapi menyiratkan satu hal: pendidikan adalah hak setiap manusia, bukan hanya milik darah biru.
Namun, ia tidak menyamakan semua murid. Ada yang disebut "gentleman" dan ada yang "manusia kecil". Bukan untuk mendiskriminasi, tapi untuk menunjukkan bahwa pendidikan selalu terkait dengan niat dan cita-cita. Seorang “gentleman” belajar untuk mencintai sesama, sedang manusia kecil belajar hanya agar bisa diperintah. Perbedaan itu bukan asal-usul, tapi arah hati.
Menarik bahwa Confucius jarang menjawab langsung. Ia lebih suka memberi isyarat, lalu menunggu murid menemukan sendiri. “Kalau aku tunjukkan satu sudut, tapi kau tak mampu menemukan tiga sisanya, maka aku tak akan mengulanginya.” Ia percaya bahwa belajar bukan proses mengisi gelas kosong, tapi menyalakan pelita yang sudah ada di dalam dada.
Bayangkan seorang guru yang tidak menggurui. Ia tidak ingin murid-muridnya menjadi salinan dirinya, tapi menjadi versi terbaik dari diri mereka sendiri. Maka setiap jawaban adalah pertanyaan yang menyamar. Setiap pelajaran adalah cermin.
Confucius tidak mengajarkan bertani atau berkebun. Ia bahkan menolak mengajarkan keterampilan praktis. Mengapa? Karena baginya, pendidikan bukan tentang bertahan hidup, tapi tentang hidup dengan makna. Ia ingin muridnya membaca puisi, memahami musik, merenungi sejarah—lima kitab klasik sebagai menu utama. Karena dari sana lahir kehalusan rasa dan kepekaan terhadap hidup.
Dan meskipun para teknokrat mungkin mencibirnya karena “tidak produktif”, Confucius tahu bahwa masyarakat yang sejahtera tanpa kebijaksanaan hanya akan memproduksi kekuasaan tanpa keadaban. Maka lebih baik mencetak satu orang bijak daripada seribu insinyur yang kehilangan nurani.
Tentu, Confucius tidak apolitis. Baginya, pendidikan adalah akar dari ketertiban negara. Seorang pemimpin yang terdidik bukan hanya tahu bagaimana memerintah, tapi tahu bagaimana menjadi teladan. “Kalau engkau benar, tanpa perintah pun orang akan mengikuti. Tapi kalau engkau salah, semua perintah akan diabaikan.”
Di sinilah pendidikan tidak hanya menjadi alat perbaikan individu, tapi cara membangun masyarakat yang adil. Dalam pandangan Confucius, negara bukanlah mesin kekuasaan, tapi cermin dari karakter warganya. Dan karakter itu dibentuk di ruang belajar, bukan di meja rapat.
Kini, ratusan generasi telah berlalu. Kaisar berganti, sistem berubah. Namun suara Confucius tetap menggema di antara halaman buku, di ruang kelas, bahkan dalam diam orang tua yang mengajarkan anaknya sopan santun.
Ia tidak mewariskan metode. Ia mewariskan sikap. Bahwa belajar adalah tanggung jawab seumur hidup. Bahwa kesantunan bukan kelemahan. Bahwa memimpin adalah mengabdi. Bahwa yang tertinggi dari semua kebajikan adalah ren—kemanusiaan yang hidup dalam relasi, dalam empati, dalam kasih sayang.
Di tengah dunia yang dipenuhi kurikulum kompetitif dan angka-angka pencapaian, mungkin kita bisa kembali sebentar ke halaman Analekta, duduk bersama Confucius, dan mendengarkan: bahwa pendidikan adalah bentuk doa paling sunyi, ketika manusia berharap—dengan belajar—ia akan menjadi lebih manusia, dan dunia menjadi lebih baik.
Maka belajar bukan sekadar menempuh jenjang, tapi menempuh makna. Dan guru, seperti Confucius, adalah lentera di jalan yang panjang itu—tidak menyuapi terang, tapi membiarkan kita mencarinya sendiri dalam gelap.
Referensi: Fifty Major Thinkers on Education
Post a Comment for "Merenungi Pendidikan bersama Confucius"