zmedia

Mengingat Kembali yang Terlupakan

Ada sebuah kebiasaan kecil yang dilakukan seorang guru, setiap pagi sebelum pelajaran dimulai. Ia berdiri di depan papan tulis, mengambil sepotong kapur, dan menuliskan satu pertanyaan sederhana: “Apa yang kalian ingat dari kemarin?” Tak ada nilai, tak ada tekanan. Hanya percakapan singkat antara masa lalu dan masa kini, antara yang pernah lewat dan yang masih bergetar dalam ingatan.

Dalam esai ini, saya ingin menulis tentang itu—tentang sebuah praktik yang oleh kebijakan pendidikan kini disebut retrieval practice, tetapi yang oleh guru-guru mungkin hanya disebut sebagai “mengingat kembali.” Di dalam ruang kelas, istilah akademik sering kali kehilangan gema resminya. Ia menjadi tindakan sederhana: menanyakan, mendengarkan, dan kadang menertawakan kenangan yang meleset dari tempatnya. Namun dari kelucuan dan kesalahan itulah, belajar menemukan rumahnya.


What’s in a name?” tanya Shakespeare lewat lidah Juliet. Sebuah nama bisa menjadi beban, bisa pula menjadi jendela. Dalam dunia pendidikan, nama-nama seperti testing effect, formative assessment, atau retrieval practice kadang menjadi penjara bagi guru yang harus menggenapi harapan kebijakan. Padahal, esensinya bukan pada istilah, melainkan pada makna yang hidup di antara guru dan murid.

Dalam sebuah studi kasus yang dilakukan di sekolah dasar di Inggris, peneliti Gareth Bates menemukan paradoks kecil: para guru menggunakan retrieval practice hampir setiap hari, dalam bentuk pertanyaan, kuis, atau permainan. Namun, banyak dari mereka tidak benar-benar memisahkannya dari assessment for learning. Mereka melihatnya sebagai sarana penilaian, bukan pembelajaran. Ini seperti memetik bunga setiap pagi untuk memastikan akarnya tumbuh—sebuah kebingungan antara proses dan hasil.


Namun benarkah itu sebuah kekeliruan? Atau justru di situlah letak kebijaksanaan praksis seorang guru?


Di dalam kelas, guru bukan hanya pelaksana kebijakan. Ia adalah penjaga waktu: mencatat apa yang telah berlalu, merancang apa yang akan datang. Retrieval practice, dalam konteks ini, bukan sekadar strategi kognitif. Ia adalah upaya kecil untuk menyambungkan benang merah pengalaman. Saat seorang anak mengingat kembali fakta matematika atau kutipan dari cerita minggu lalu, ia sedang membangun jembatan ke masa lalu yang tidak sia-sia. Ia sedang berkata pada dirinya sendiri: “Yang kemarin itu penting. Aku masih membawanya hari ini.”

Namun, ada ironi yang menyusup: para guru tahu retrieval practice itu penting, tetapi mereka kurang percaya diri dalam memahami dan menerapkannya. Mereka merasakannya efektif, namun masih meragukan keahlian mereka dalam merancangnya. Ini menunjukkan jurang antara pengetahuan formal yang dikemas dalam kerangka kebijakan, dan pengetahuan tak terucap yang terbit dari pengalaman harian di kelas.

Bukankah itu seperti seorang petani yang tahu tanahnya subur, tapi tak hafal istilah agronominya?


Retrieval practice sering kali dibingkai sebagai teknik yang didukung oleh ilmu kognitif. Peneliti menyebutnya sebagai cara untuk memperkuat memori jangka panjang, meningkatkan retensi, dan mendukung hasil belajar. Namun dalam ruang kelas yang nyata—dengan kebisingan, keterbatasan waktu, dan wajah-wajah kecil yang kadang ingin bermain lebih daripada mengingat—retrieval practice adalah seni menjaga agar belajar tetap bernapas.

Seorang guru dalam studi ini berkata, “Aku ingin anak-anak melihat retrieval practice bukan sebagai ujian, tapi sebagai kegiatan yang menyenangkan—sesuatu yang rendah tekanan, bahkan lucu.” Di situ, retrieval practice menemukan sisi manusianya. Ia bukan metode, melainkan momen. Momen untuk tertawa, gagal, mencoba ulang. Dalam suasana seperti itulah, memori melekat bukan karena terpaksa, tapi karena diberi ruang untuk pulang.


Namun kita juga perlu hati-hati. Ketika guru terlalu cepat mengaitkan retrieval practice dengan penilaian formatif, muncul godaan untuk langsung mengulang pelajaran saat anak gagal menjawab. Padahal, dalam dunia memori, kesalahan bukan musuh. Kesalahan adalah tempat ingatan dibakar ulang. Jika setiap kegagalan langsung ditambal dengan ulang materi, kita mencabut kesempatan otak untuk mengatasi kealpaan dengan kekuatan internalnya.

Di sinilah kita perlu merenung: apakah kita sedang mengajar untuk menghindari kesalahan, atau sedang mengajarkan bahwa kesalahan adalah bagian dari belajar?


Pada akhirnya, retrieval practice bukan soal berapa banyak yang bisa diingat anak, tetapi seberapa jauh guru percaya bahwa ingatan itu tumbuh dalam proses yang tidak selalu bisa diukur. Di antara kuis harian dan pertanyaan cepat, ada pertumbuhan yang diam-diam: kepercayaan diri anak, hubungan antara pengetahuan yang lama dan baru, serta perasaan bahwa belajar adalah perjalanan yang berulang, bukan garis lurus.

Dan dalam perjalanan itu, guru bukan hanya pemandu. Ia adalah penjaga cahaya kecil yang menyala dalam diri anak-anak saat mereka berkata, “Aku ingat ini. Aku tahu ini.” Cahaya itu mungkin tak terukur oleh kebijakan, tak dicatat dalam laporan. Tapi di situlah pendidikan menemukan nadinya.

Dalam tanya yang tak selesai, kita mendengar gema dari pertanyaan lama: “Apa arti sebuah nama?” Mungkin, dalam retrieval practice, jawabannya adalah: ingatan bukan sekadar yang kita tahu, tapi apa yang kita pilih untuk bawa pulang. Hari demi hari, di ruang kecil bernama kelas.


Sumber baca:

‘What’s in a name?’ Retrieval practice in the primary classroom: a case study

Posting Komentar untuk "Mengingat Kembali yang Terlupakan"