Barangkali, Sekolah Itu Tak Perlu Kurikulum

Anak itu bernama Tim. Ia belum genap remaja, namun ia telah mengenal apa itu kebahagiaan. “Aku ingin membuat permainan,” katanya, “karena permainan membuatku bahagia. Dan kalau orang lain bahagia karena permainan itu, aku pun ikut bahagia.” Kata-kata yang sederhana, namun dari dalamnya mengalir filsafat yang lebih dalam dari banyak silabus yang pernah ditulis. Di dalam ruangan kecil di sebuah tempat bernama Greenwoods, Tim tak sedang menghafal kurikulum. Ia sedang menjadi manusia.

Dalam pendidikan kita yang konvensional, kurikulum adalah kitab suci yang tak boleh disentuh. Ia adalah peta, kompas, dan kadang, rantai. Ia menentukan kapan seorang anak boleh berbicara tentang logaritma, atau kapan harus diam mendengarkan sejarah yang dituliskan oleh pemenang. Kita menyebutnya pendidikan, tapi seringkali kita melupakan bahwa anak-anak bukanlah wadah kosong yang harus diisi. Mereka adalah api kecil yang mesti dijaga agar tak padam.

Maka pertanyaan yang dilemparkan John Carden dalam risetnya mengguncang bukan hanya institusi, tapi mungkin juga keyakinan kita: “Bagaimana jika kurikulum terbaik adalah yang tak ada sama sekali?”


Greenwoods bukanlah sekolah dalam pengertian umum. Tidak ada bel. Tidak ada ruang kelas. Tidak ada ujian. Yang ada adalah pertemuan pagi, komunitas, dan kebebasan. Seorang anak bisa memilih menghabiskan waktu dengan menggambar, mengobrol, memainkan game, atau sekadar duduk diam. Dan ajaibnya, dari kekacauan yang tampak bebas itu, tumbuh pembelajaran yang lebih otentik dibanding kelas mana pun yang mengenakan seragam.

Tentu, akan ada yang bertanya: “Lalu, bagaimana dengan masa depan mereka?” Tapi justru di sinilah kita harus menggeser cara pandang. Apakah masa depan adalah sesuatu yang harus kita persiapkan dengan rasa takut—dengan tekanan ujian dan angka? Atau justru ia adalah ruang yang harus kita isi dengan rasa ingin tahu, relasi, dan keberanian untuk menjadi diri sendiri?


Di Greenwoods, para siswa menjadi agen—bukan objek pendidikan. Mereka bukan sekadar anak-anak yang duduk di kursi panjang dan mencatat perintah. Mereka mengatur waktunya sendiri, memimpin pertemuan, memutuskan topik belajar, bahkan menolak sesi jika merasa tak relevan. Dalam keheningan yang tak ditentukan oleh bel sekolah, mereka mulai mendengar suara dari dalam: keinginan, minat, dan tujuan yang lahir bukan dari tekanan, tapi dari dorongan diri.

Dan bagaimana jika itu cukup? Bagaimana jika yang dibutuhkan oleh seorang anak bukanlah rangkaian mata pelajaran yang disusun dari pusat, tetapi keberanian untuk mempercayai bahwa ia bisa belajar karena ia ingin, bukan karena ia harus?


Goethe pernah berkata bahwa kita tak boleh mendidik anak untuk zaman kita, karena mereka hidup di zaman yang akan datang. Tetapi sekolah kita hari ini lebih sibuk mencetak keseragaman daripada menumbuhkan keunikan. Anak-anak dituntut untuk menjadi "siap masa depan", padahal masa depan sendiri tidak siap dengan kompleksitasnya.

Sementara itu, di Greenwoods, seorang anak belajar membuat game dan tak sengaja mempelajari bahasa pemrograman Java. Yang lain mempelajari bukti teorema Gödel bukan karena tuntutan silabus, tapi karena ingin memahaminya. Di tempat yang lain, anak-anak di sekolah-sekolah umum tak punya waktu bertanya karena sedang sibuk menjawab soal latihan.


Namun tentu, semua ini tak sederhana. Belajar tanpa kurikulum membutuhkan waktu. Banyak siswa yang datang ke Greenwoods dengan luka—trauma dari sistem lama yang mengekang mereka. Ada masa transisi, di mana mereka hanya duduk diam, tak tahu harus apa. Tapi seperti tanah yang kembali subur setelah musim beku, perlahan mereka mulai bertunas. Mulai berbicara. Bertanya. Mencoba. Dan akhirnya, tumbuh.


Bagi para guru, peran mereka pun berubah. Bukan lagi sebagai penguasa ruang kelas, melainkan mitra belajar. Mereka tak mengajar untuk menyampaikan kurikulum, tapi hadir untuk menemani perjalanan. Dalam sistem seperti ini, kata “profesionalisme” tak lagi diukur dari seberapa banyak materi yang disampaikan, tapi dari seberapa dalam relasi yang dibangun.


Mungkin, seperti yang dikatakan oleh Freire, pendidikan sejati bukan tentang mentransfer pengetahuan, tapi tentang membebaskan. Bukan tentang mengisi kepala, tapi menyalakan hati.

Di akhir tulisan ini, saya tak ingin mengajak untuk membakar semua kurikulum. Saya hanya ingin mengusulkan kemungkinan: bahwa ada dunia lain di balik tembok sekolah. Dunia di mana belajar adalah bagian dari kehidupan, bukan pelarian darinya. Dunia di mana anak-anak tidak dikendalikan oleh jadwal, tapi oleh rasa ingin tahu.

Dan mungkin, dunia itu bukan hanya mungkin—ia sudah ada. Ia bernama Greenwoods. Dan bisa jadi, ia sedang menunggu kita untuk percaya.


Seperti kata Chair dalam pertemuan pagi Greenwoods: “Meeting… closed.” Tetapi pelajaran? Mungkin baru saja dimulai.


Sumber baca:
What if the best curriculum was none at all?

0 Response to "Barangkali, Sekolah Itu Tak Perlu Kurikulum"

Post a Comment