zmedia

Di Antara Ilmu dan Ingatan – Menyulam Kurikulum dalam Zaman yang Terburu-buru

Kurikulum. Sebuah kata yang sering terdengar teknokratik, seperti bunyi mesin birokrasi yang berputar terus. Namun di dalamnya tersembunyi percakapan yang lebih dalam: tentang siapa kita, apa yang kita wariskan, dan ke mana hendak kita ajak anak-anak berjalan.

Di ruang-ruang kelas di Australia dan Inggris, ada yang bergolak dalam diam. Sebuah istilah baru—knowledge-rich curriculum—dihadirkan dengan wajah penuh janji. Tapi seperti istilah-istilah lain yang terlalu sering diulang dan jarang dijelaskan, ia pun menjadi kabur. Apa sebenarnya makna dari “kaya pengetahuan”? Dan pengetahuan macam apa yang kita anggap berharga?

Makalah ini, seperti seorang pengelana yang bijak, mencoba menyingkap kabut itu. Ia membentangkan dua peta besar: yang satu berpijak pada social realism—keyakinan bahwa pengetahuan akademik, yang terstruktur dan disipliner, adalah kunci keadilan; yang satu lagi berakar dari cognitive science—sains tentang cara otak manusia belajar dan menyimpan.

Dalam kaca mata social realism, pengetahuan bukan sekadar fakta. Ia adalah warisan pemikiran manusia yang terbangun di atas disiplin. Fisika, sejarah, sastra—semuanya punya tata cara membangun dunia. Dan keadilan, dalam pandangan ini, adalah memberikan akses kepada semua murid untuk masuk ke dalam dunia itu, termasuk mereka yang mungkin tak pernah menginjakkan kaki di perpustakaan rumah.

Namun cognitive science—yang tak kalah bijak dalam caranya—berbicara tentang skema, memori, dan bagaimana anak-anak memahami dunia melalui pengulangan, pengambilan kembali (retrieval practice), dan penyusunan informasi dalam struktur yang masuk akal bagi otak. Ia mengingatkan kita bahwa cara pengetahuan ditanamkan tak kalah penting dari isinya.

Keduanya, seperti dua sungai besar, tampak mengalir seiring… hingga saat kita menyadari bahwa mereka bisa saling menegasikan bila tak dijembatani dengan bijak. Di satu sisi, ada upaya menerapkan prinsip kognitif seperti retrieval practice secara seragam dan mekanik—mengubah kelas menjadi ladang ulangan tanpa makna. Di sisi lain, ada kekhawatiran bahwa warisan pengetahuan akademik terlalu kaku dan tak mengakomodasi keberagaman hidup anak-anak masa kini.

Di sinilah kita berdiri hari ini: di sebuah simpang jalan yang sunyi namun menentukan.


Pernahkah Anda melihat seorang guru sejarah membuka pelajaran dengan bertanya, “Apa yang akan kamu bawa jika kamu harus meninggalkan rumahmu dalam semalam karena perang?” Di situlah, tanpa sadar, retrieval dan empati bertaut. Cerita jadi jembatan. Dan pengetahuan tak hanya dipelajari—ia dirasakan.

Sayangnya, dalam kebijakan pendidikan, cerita-cerita seperti ini sering hilang. Kurikulum menjadi daftar isi buku, dan bukan narasi yang menyentuh. Makalah ini memberi peringatan yang halus namun tajam: jangan biarkan prinsip-prinsip pedagogik menjadi mutasi mematikan (“lethal mutations”) hanya karena ia kehilangan konteks.

Dalam pengalaman guru seperti Christine Counsell, kita membaca kesaksian tentang bagaimana “retrieval practice” yang tak selaras dengan karakter ilmu sejarah bisa merusak esensi pelajaran itu sendiri. Bukannya menumbuhkan pemahaman, ia justru membuat murid terpaku pada detail tak bermakna.

Begitu pula dengan dunia sains atau matematika—tempat konsep berkembang dari dasar ke kompleksitas. Tanpa pengulangan yang bermakna, semua itu bisa lenyap seperti pasir disapu ombak.


Maka, di akhir perjalanan ini, saya tidak menemukan satu definisi tunggal untuk knowledge-rich curriculum. Dan barangkali memang tidak perlu.

Yang kita butuhkan bukanlah definisi yang memaku, tetapi arah yang menuntun: bahwa kurikulum adalah lebih dari sekadar isi—ia adalah jalan untuk menumbuhkan daya berpikir, memberi akses ke warisan pengetahuan, dan membuka ruang untuk keberagaman suara.

Bahwa seorang anak dari keluarga imigran di Melbourne atau siswa dari kota kecil di Yorkshire berhak mengenal Shakespeare dan Newton, sebagaimana ia juga berhak melihat bahwa kisah keluarganya—kisah hidupnya—pun bisa menjadi bagian dari pelajaran yang bermakna.

Dan bahwa dalam kelas-kelas kita, kita bisa berhenti sejenak dari keterburuan mengejar indikator, untuk bertanya: pengetahuan ini, untuk siapa? Untuk apa? Dan bagaimana ia bisa menyentuh hati?

Sebab di situlah, mungkin, kurikulum yang benar-benar kaya itu lahir—di pertemuan antara ilmu dan kepekaan, antara struktur dan kebebasan, antara buku teks dan kehidupan.


Sumber baca:

Knowledge-rich curriculum: towards definitional clarity in the context of reform in Australia and England

Post a Comment for "Di Antara Ilmu dan Ingatan – Menyulam Kurikulum dalam Zaman yang Terburu-buru"