Di sebuah negeri yang langitnya sering berselimut kelabu dan angin dingin meniup dari dataran tinggi, para guru berjalan menuju sekolah seperti biasa. Di tangan mereka, bukan sekadar kapur dan penghapus, tetapi segepok harapan: tentang anak-anak yang akan tumbuh bukan hanya menjadi pintar, tapi utuh sebagai manusia. Di Skotlandia, dua dekade lalu, lahirlah sebuah gagasan besar—sebuah kurikulum bernama Curriculum for Excellence (CfE). Ia dijanjikan bukan sebagai cetak biru, tapi sebagai peta jalan yang fleksibel. Sebuah janji tentang kepercayaan: bahwa guru, bukan pejabat, adalah arsitek utama pembelajaran.
Namun, seperti dalam banyak kisah idealisme, antara rencana dan kenyataan selalu ada jurang. Dan seperti dalam puisi, kadang kita harus membaca di antara baris untuk mengerti.
Dalam gaya pemerintahan yang disebut strategic state, Skotlandia hendak menempatkan pendidikan dalam lanskap yang luas: kesejahteraan masyarakat, keadilan sosial, dan partisipasi publik. Pemerintah tak lagi ingin sekadar memberi instruksi dari atas, melainkan membangun jembatan dengan para pelaku di lapangan. Maka, guru disebut sebagai strategy practitioners—mereka yang bukan hanya melaksanakan, tapi mencipta strategi.
Namun pertanyaannya sederhana: bagaimana mencipta, kalau ruang untuk bernapas saja sempit?
Guru-guru, dalam laporan yang tersusun rapi dan evaluasi yang tebal, berkali-kali meminta hal yang sama: waktu. Waktu untuk berpikir. Waktu untuk berdiskusi. Waktu untuk salah dan mencoba lagi. Tapi waktu, dalam sistem yang terus menghitung hasil ujian dan grafik capaian, adalah kemewahan.
Bayangkan seorang guru di pinggiran Glasgow, duduk larut malam dengan lembar-lembar penilaian, lalu esoknya menghadiri lokakarya tentang inovasi kurikulum. Ia diminta untuk berinovasi, tetapi juga diingatkan tentang tenggat dan standar. Dalam dilema ini, yang muncul bukan semangat kolaborasi, melainkan kelelahan. Alih-alih ruang kreasi, sekolah menjadi tempat theatre of compliance—penampilan yang tampak segar, tapi di balik layar penuh tekanan dan ketakutan akan “melenceng”.
Pemerintah membentuk berbagai kolaborasi: Schools of Ambition, SIPP, Regional Improvement Collaboratives. Semua dengan jargon yang indah: partisipatif, berbasis bukti, berorientasi masa depan. Namun seperti dialog dalam drama yang dipentaskan terlalu sering, kata-kata kehilangan maknanya ketika panggung dibongkar sebelum lakon selesai. Banyak inisiatif berumur pendek, dipuji saat lahir, dilupakan saat mati.
Kurikulum untuk masa depan, katanya. Tapi masa depan macam apa, jika masa kini saja belum dipahami sepenuhnya?
Banyak guru merindukan kejelasan. Dalam semangat memberi otonomi, negara kadang melempar terlalu banyak kebebasan tanpa arah. Seperti pelaut yang diberi kapal tanpa kompas, guru diberi fleksibilitas tanpa peta pengetahuan yang kokoh. Maka, lahirlah variasi yang bukan karena kreativitas, tapi karena kebingungan.
Sebagian mencoba bertahan. Sebagian memilih diam. Dan sebagian mengubah peran mereka: bukan lagi pembuat kurikulum, tapi pelaksana skenario yang ditulis entah oleh siapa.
Bahwasanya “kemerdekaan adalah ruang kosong yang diisi oleh pilihan yang sadar.” Dalam konteks ini, otonomi guru bukanlah absennya kontrol, melainkan hadirnya dukungan. Subsidiaritas bukan berarti melepas tangan, tapi mempercayai sambil memberi alat dan waktu.
Di Skotlandia, pelajaran terbesar mungkin bukan soal desain kurikulum, tetapi tentang keberanian untuk menepati janji. Bahwa reformasi pendidikan bukan hanya tentang apa yang diajarkan, tapi bagaimana kita menghormati mereka yang mengajar.
Dan mungkin, seperti puisi yang tak pernah selesai ditulis, perjalanan pendidikan di sana mengingatkan kita: bahwa perubahan sejati lahir bukan dari ketergesaan, tapi dari kesabaran yang mendalam—dan dari kepercayaan bahwa guru, di ruang kelas kecilnya, sedang menulis masa depan.
Dengan kapur. Dengan napas. Dengan cinta yang tenang.
Sumber baca:
Building teacher capacity for curriculum renewal: insights from Scotland
Post a Comment for "Di Antara Rencana dan Kenyataan"