zmedia

Antara Dua Sungai

Di sebuah lembah Andean yang sunyi, seorang anak kecil menyusuri sungai yang kian menyempit. Ia membawa sebilah ranting, mencoret-coret lumpur di tepian, seolah menggambar jalur air yang lebih panjang, lebih luas, lebih abadi. Namun sungai itu, seperti banyak sungai lain di negeri-negeri yang tumbuh oleh ambisi, terus terputus oleh bendungan, dialihkan oleh pipa, dikotori oleh janji-janji kemajuan.

Begitulah, kadang-kadang dunia pendidikan kita menyerupai sungai itu. Ia mengalir, tetapi tak selalu jernih. Ia menyusuri lembah waktu, tetapi tak selalu tahu ke mana tujuannya.

Pendidikan lingkungan di Kolombia, menurut para peneliti dalam kajian ini, telah berakar kuat sejak dekade 1970-an. Ia tumbuh dari semangat konservasi, dari keresahan akan eksploitasi alam, dari harapan akan masa depan yang lestari. Namun kini, di tengah gemuruh global bernama Sustainable Development Goals, sebuah ide baru mengetuk pintu: Education for Sustainable Development (ESD). Sebuah nama panjang yang tampaknya ingin lebih dari sekadar menyelamatkan pepohonan. Ia ingin menyelamatkan dunia tanpa menghentikan mesin.


Di sinilah letak ironi itu bersemayam. Bagaimana kita bisa menyelamatkan dunia tanpa mengubah dunia? Bagaimana kita bisa mendidik insinyur untuk membangun masa depan yang hijau, ketika cetak biru kurikulum mereka masih lebih mengenal baja dan beton daripada keadilan ekologis?

Para mahasiswa teknik di Kolombia, sebagaimana tercatat dalam survei ini, tampaknya lebih akrab dengan wacana Environmental Education ketimbang ESD. Mereka memahami pentingnya menjaga alam, tetapi belum cukup terlatih untuk melihat keterkaitan kompleks antara pertumbuhan ekonomi, keberlanjutan sosial, dan kelestarian lingkungan. Mereka tumbuh dalam sistem pendidikan yang masih melihat alam sebagai latar, bukan sebagai aktor.

Dan mungkin, itulah dilema besar abad ini: bagaimana mendidik untuk masa depan di dunia yang masih bergelimang masa lalu?

ESD, atau pendidikan untuk pembangunan berkelanjutan, tampaknya datang seperti arsitek modernis. Ia membawa cetak biru, standar global, kata kunci yang rapi. Tapi di tanah seperti Kolombia, dengan sejarahnya yang getir dan tanahnya yang subur, pendekatan seperti itu kadang terasa seperti menanam anggrek plastik di tengah hutan hujan.

Pendidikan lingkungan yang lama, yang kita sebut EE, lebih seperti benih liar. Ia tumbuh dalam proyek sekolah, di tengah komunitas, kadang tanpa nama, tapi penuh makna. Ia mengajarkan bukan hanya fakta, tetapi perasaan. Bukan hanya angka karbon, tetapi kenangan tentang sungai, hutan, tanah.

Namun benih itu sering tumbuh tanpa akar yang kokoh dalam kurikulum. Hanya 5% materi kuliah teknik di Kolombia yang menyentuh isu lingkungan secara eksplisit. Maka yang tumbuh kadang hanyalah kesadaran samar, bukan pengetahuan yang menumbuhkan aksi.

Ironisnya, mahasiswa, meskipun kurang mendapat pelatihan formal dalam ESD, menunjukkan antusiasme tinggi untuk belajar lebih banyak. Seperti tunas yang mencari cahaya, mereka ingin tumbuh ke arah yang lebih sadar, lebih terhubung, lebih manusiawi. Tapi cahaya itu belum cukup tersedia dalam ruang-ruang kelas mereka.

Mungkin kita perlu kembali pada anak kecil yang menyusuri sungai. Ia tidak belajar dari buku, tetapi dari air yang dingin, dari aroma tanah, dari keheningan yang membawa tanya.

Pendidikan seharusnya seperti itu: bukan hanya transfer informasi, tapi pertemuan antara makna dan dunia. Bukan hanya tentang memproduksi insinyur yang mampu membangun jembatan, tetapi yang tahu mengapa jembatan itu dibutuhkan, dan apa yang harus dilestarikan di bawahnya.

Kita tidak bisa lagi memilih antara EE dan ESD seperti memilih dua jalan yang berseberangan. Dunia kita terlalu kompleks, terlalu genting, untuk dikotak-kotakkan begitu saja. Kita butuh model yang bisa menggabungkan keduanya, yaitu Environmental Education for Sustainable Development atau EESD.

Ini bukan sekadar akronim baru. Tapi sebuah harapan bahwa para insinyur masa depan akan dididik bukan hanya untuk memahami struktur, tetapi juga relasi. Bukan hanya tentang efisiensi energi, tetapi keadilan ekologis. Bukan hanya tentang pembangunan berkelanjutan, tetapi juga keberlanjutan makna.

Di akhir hari, sungai itu tetap mengalir meski tersendat. Anak kecil itu tumbuh menjadi insinyur. Ia membangun bendungan, jalan, kota. Tapi suatu hari, ia kembali ke lembah masa kecilnya dan menyadari bahwa di balik tiap perhitungan struktur, ada dunia yang retak. Bahwa di balik tiap rencana pembangunan, ada bumi yang menunggu untuk diajak bicara, bukan ditaklukkan.

Mungkin di situlah pendidikan sejati bermula. Ketika kita berhenti melihat alam sebagai sumber daya, dan mulai melihatnya sebagai sahabat yang terluka.

Karena akhirnya, kita tidak hanya membangun dunia. Kita sedang belajar kembali menjadi bagian darinya.


Sumber baca:

Posting Komentar untuk "Antara Dua Sungai"