Di sebuah ruang kelas yang belum sepenuhnya jadi, seorang guru muda berdiri. Tangannya gemetar di atas lembar rencana pelajaran, matanya mencari pegangan di antara deretan kursi yang dihuni oleh anak-anak dengan mata penuh tanya. Di kepalanya, sebuah suara berbisik: ini pekerjaan yang mustahil.
Mungkin kita pernah percaya bahwa menjadi guru adalah menjadi penerang, menjadi jembatan, menjadi yang serba tahu. Tapi siapa yang sanggup membelah samudra kebutuhan dalam satu ruang sempit? Di dalam kenyataan, keadilan ternyata tidak sesederhana membagi roti sama rata. Kadang, keadilan itu harus menyadari bahwa ada anak yang butuh lebih dari sekadar sepotong roti; ia butuh waktu, bahasa, dan kesabaran yang tak terukur.
Para calon guru di Skotlandia itu mengakuinya dengan jujur. Mereka ingin menjadi seperti pohon rindang bagi semua murid. Namun seringkali mereka justru terjebak menjadi tukang kebun yang kelelahan, memaksa semua bunga mekar dalam musim yang sama. Mereka ingin membedakan, membedakan dengan cinta, tetapi yang mereka temui adalah tekanan, ketidaksesuaian pesan, dan kadang rasa bersalah.
Di sinilah dilema itu tumbuh seperti bayang-bayang panjang di sore hari: membedakan agar adil, atau membedakan yang justru mempertegas batas? Para calon guru itu berdiri di persimpangan yang sepi. Mereka mendengar suara universitas yang berkata: berikan hak belajar yang berbeda sesuai kebutuhan. Namun suara dari ruang praktik berkata: kelola kelas ini dengan efisien, cepat, dan seragam. Di antara dua gema yang bertabrakan, mereka tersesat.
Ada yang memilih ‘mencoba saja dulu’, dengan sisa keberanian yang bisa dikumpulkan. Ada yang berhenti di tengah jalan, menunduk pada tumpukan administrasi yang kian menekan. Mereka merasa dipanggil untuk melakukan keajaiban, tapi disodori pedoman yang kaku dan sempit.
Barangkali, kita sering lupa bahwa menjadi guru bukan soal memetik hasil, melainkan merawat perjalanan. Bukan tentang menaklukkan keragaman, melainkan menyambutnya. Dan perjalanan ini, seperti yang mereka bisikkan di ruang-ruang diskusi kecil itu, tidak pernah mudah. Tidak ada satu pun yang sepenuhnya siap, tidak juga kurikulum, tidak juga para guru yang paling bijak.
Tapi siapa yang pernah benar-benar siap mencintai?
Barangkali, perasaan ‘mustahil’ itulah pintu pertama menuju keikhlasan. Mungkin dari sana kita mulai mengerti bahwa pendidikan tidak selalu bergerak dengan logika pabrik, dengan target yang harus terpenuhi, dengan garis finish yang seragam. Ada ruang di mana kita harus duduk lebih lama, mendengar lebih dalam, dan mengizinkan diri sendiri untuk salah.
Seorang dari mereka pernah berkata dalam wawancara, dengan suara yang hampir pecah, “Saya tahu, saya tidak akan pernah bisa memenuhi semuanya. Tapi saya ingin, setidaknya, memberi mereka kesempatan untuk merasa dilihat.” Mungkin, di sanalah letak kesederhanaan yang terlupakan: untuk merasa dilihat.
Di dunia yang semakin tergesa, guru sering dilatih untuk melakukan, jarang diajak untuk menjadi. Kita lebih sibuk mengejar ‘bagaimana mengajar’ ketimbang ‘mengapa mengajar’. Kita mengejar efisiensi, tapi kehilangan kedalaman.
Maka mungkin, tugas pendidikan bukan untuk menyelesaikan semua perbedaan, melainkan untuk hidup di dalamnya. Untuk tahan berdiri di tepi ketidaksempurnaan, dan berkata, “Aku tetap di sini.”
Barangkali, di ujung perjalanan, bukan soal mampu atau tidak mampu, tapi tentang berani atau tidak berani. Dan barangkali, seperti kata seorang calon guru yang duduk di kursi terakhir dalam diskusi itu, pekerjaan yang mustahil ini justru menjadi mungkin jika kita melakukannya bersama.
Sumber baca:
Posting Komentar untuk "Mencari Celah di Dinding yang Tak Rata"