zmedia

Di Padang Gersang, Sebuah Sekolah Bernama Harapan

Di sebuah desa yang nyaris tidak bernama, di tepi Sahara yang menyusut pelan-pelan ke arah rumah-rumah dari batu bata retak, seorang anak laki-laki menulis namanya di pasir. Ia tidak tahu, barangkali, bahwa nama itu akan hilang dalam hitungan detik ketika angin datang dari timur, membawa bijih halus dan tak terlihat. Tapi ia menulis juga. Barangkali bukan karena ingin diingat, melainkan karena ingin belajar menulis.

Di tempat seperti itulah, kita sebaiknya mulai berbicara tentang pendidikan.

Di kawasan MENA, yakni Timur Tengah dan Afrika Utara, lingkungan bukan lagi sekadar latar, tapi sebuah cerita utama yang semakin getir. Kekeringan bukan berita baru. Air menjadi barang mewah, bukan hak. Padang gurun menelan kota kecil seperti cerita rakyat yang tak sempat dicatat. Tapi ironinya, yang paling langka di sana bukanlah air, melainkan kesadaran. Kesadaran bahwa manusia bukan sekadar pewaris dunia, tapi juga pemilik tanggung jawab.


Pendidikan lingkungan, kata para pakar, adalah jawaban. Tapi jawabannya kerap datang seperti suara yang teredam di tengah badai pasir: tak terdengar atau sengaja diabaikan.

Mereka menyebutnya ESG, yaitu lingkungan (Environmental), sosial (Social), dan tata kelola (Governance). Sebuah akronim yang lahir di ruang konferensi, tetapi sedang mencoba berjalan kaki masuk ke ruang kelas anak-anak. Jika pendidikan lingkungan adalah benih, maka ESG adalah tanah tempat benih itu ditanam. Tapi tanah ini, secara harfiah dan simbolik, tengah retak, kering, dan penuh batu.

Masalahnya bukan hanya soal isi kurikulum. Masalahnya adalah bagaimana pendidikan itu diberikan, kepada siapa, dan untuk apa. Di banyak sekolah di MENA, isu lingkungan mungkin sekilas disebutkan: “air bersih itu penting” atau “jangan buang sampah sembarangan.” Tapi pendidikan yang sejati tidak berhenti pada slogan. Pendidikan yang sejati harus mengganggu kenyamanan, harus menggoyahkan cara lama berpikir. Pendidikan sejati bukan hanya memberitahu bahwa bumi sakit, tetapi juga mengajarkan bagaimana merawatnya, dan lebih penting lagi, mengapa kita mesti peduli.

Ada semacam paradoks yang memedihkan. Di saat dunia berlomba menanam pohon digital berupa aplikasi, sertifikat, dan kampanye daring, masih ada sekolah-sekolah di desa pegunungan Atlas atau kamp pengungsian di Yaman yang tidak punya listrik. Di tempat itu, “pembelajaran daring” hanyalah kata-kata asing. Dan di situlah ESG seharusnya menjadi lebih dari sekadar wacana elit.

ESG, dalam bentuk yang paling murni, bukan tentang indikator investasi atau laporan transparansi. Ia adalah pertanyaan moral. Apakah kita mampu mengajarkan kepada anak-anak bahwa bumi bukanlah benda mati, melainkan ruang hidup bersama? Bahwa ketidakadilan ekologis selalu berkawan dengan ketimpangan sosial? Bahwa pohon yang tumbang bisa berarti hilangnya rumah, air, bahkan bahasa?

Di tempat-tempat yang paling rapuh, sering kali lahir inisiatif paling jujur. Sebuah program pengumpulan air kabut di Maroko yang dirancang oleh para ibu desa. Gerakan bersepeda perempuan di Suriah yang bukan hanya menantang polusi, tapi juga patriarki. Atau karavan hijau di Yordania yang berpindah dari satu desa ke desa lain, mengajar anak-anak untuk mencintai tanah mereka sebelum tanah itu lenyap.

Apa yang kita pelajari dari semua itu? Bahwa pendidikan lingkungan bukan soal gedung sekolah, melainkan soal komunitas. Bahwa guru terbaik kadang adalah petani tua yang tahu arah angin, atau perempuan muda yang bersepeda melawan aturan tak tertulis. Bahwa transformasi besar kerap lahir dari tindakan kecil, berulang, dan bersetia.

Barangkali, pada akhirnya, pendidikan adalah bentuk lain dari doa. Doa agar bumi ini tetap bisa ditinggali. Doa agar generasi yang belum lahir tidak mewarisi reruntuhan. ESG dalam pendidikan bukanlah alat ukur semata, melainkan cara baru untuk menyusun harapan.

Dan harapan, seperti anak kecil yang menulis namanya di pasir, mungkin akan terhapus. Tapi ia akan menulis lagi. Karena di dunia yang rapuh ini, menulis, belajar, dan bermimpi adalah bentuk paling gigih dari perlawanan.

Di tanah yang haus dan langit yang panas, satu-satunya yang tak boleh kering adalah imajinasi.


Sumber baca:
Integrating ESG Principles into Environmental Education: Opportunities and Challenges in the MENA Region

Posting Komentar untuk "Di Padang Gersang, Sebuah Sekolah Bernama Harapan"